04:19

00:00

“Halo.”

“Ya halo. Dengan siapa ini?” balasku kepada si pemilik nomor yang tidak kukenal itu.

“Ini Badai. Mas Badai.”

Sedetik kemudian tawaku pecah di depan corong telepon itu. Aku lupa kapan terakhir kali aku tertawa selepas itu hanya karena seseorang menyapaku di ujung telepon.

**

“Gi.”

“Nama kamu Gigi?” tanyanya sambil memamerkan deretan giginya yang kontras dengan kulit terbakar sinar mataharinya.

“Pelangi. Makanya dipanggil Gi,” jelasku kepada lawan bicaraku itu.

“Gigi lebih bagus,” katanya.

“Terserah, Mas deh,” sahutku malas.

Dia tertawa kecil, lalu berpaling dariku. Kuamati Badai yang setingkat lebih tua dariku di fakultas tempat kami berdua menimba ilmu. Badai termasuk jajaran tokoh populer di fakultas, sebelumnya aku tidak pernah mengobrol langsung dengan dia. Dia menjadi populer bukan karena tampan atau mahasiswa dengan prestasi akademik luar biasa, tapi Badai merupakan seseorang yang banyak teman. Kupikir itu memang benar karena nyatanya Badai ramah apa adanya.

“Oke, Gigi. Selamat datang di BEM ya,” katanya sembari menyerahkan sebuah permen kopi.

Kutatap permen itu dengan heran.

“Ambil. Ini sebagai hadiah selamat datang.”

“Oke,” balasku dengan kening berkerut. Tanganku meraih permen kopi itu dari Badai.

Senyumnya langsung memenuhi wajahnya. Semua dimulai dari situ. Aku mengenang jika hari-hari itu adalah salah satu waktu penuh tawa dalam hidupku.

Posisiku sebagai sekretaris membuatku harus sering-sering bertemu dengan dia. Lelucon-lelucon dari Badai yang awalnya kuanggap garing, lama-lama terasa begitu familiar. Sehari tanpa lelucon dan permen kopi yang senantiasa diberikannya kepada seluruh anggota BEM rasanya begitu aneh. Lawakan-lawakan garing Badai itulah yang jadi salah satu alasanku tertawa setiap kali bertemu dia.

Waktu yang kami habiskan bersama kemudian berlanjut tidak hanya untuk urusan BEM, mendengar lawakan, dan berbagi permen kopi, tapi aku dan Badai ternyata teman diskusi yang cocok. Walaupun tidak jarang kami berbeda pendapat, ledakan tawa karena berdebatan sengit kami selalu membuat kami berdua kembali akur. Obrolan kami disertai banyak bungkus permen kopi, kadang segelas kopi hitam betulan, atau mie rebus dengan asap mengepul. Ruangan sekretariat BEM yang penuh dengan barang-barang dari masa ke masa itu menjadi saksi betapa kami menikmati waktu berdua kami.

Suatu hari, Badai memperkenalkan aku dengan Elang, yang Badai pilih menjadi ketua salah satu gelaran besar BEM. Badai memintaku membantu Elang dalam event tersebut. Mulanya, aku hampir menolak karena teringat kesibukan kuliah dan mengurus BEM sendiri. Namun Badai meyakinkanku jika dia akan selalu membantu dan mendukungku.

Caranya meyakinkanku membuatku percaya.

**

00:20

“Apa kabar, Gigi, eh Pelangi?”

Derai tawaku berlanjut lagi. Aku masih belum bisa lupa bagaimana Badai menyapaku dengan khasnya. Sesaat kemudian tawa itu berubah menjadi seulas senyuman. Badai mungkin tidak melihat senyumku itu, namun aku tahu senyum itu kutujukan untuknya.

“Alhamdulillah, aku sehat dan baik, Mas. Mas apa kabar?”

“Sama kok. Aku juga baik.”

Perasaan hangat mengalir saat mendengar jawabannya. Aku berusaha mencari-cari di antara tumpukan pikiranku kapan terakhir kali kami bicara seperti ini.

“Ada angin apa nih…?” tanyaku seraya mengakrabkan suasana.

“Tadi nggak sengaja lihat post kamu di facebook. Aku cari-cari nomor ponselmu, eh ternyata masih kusimpan. Coba kutelepon deh dan ternyata masih nyambung.”

“Oh, sekarang pakai nomor yang ini tho, Mas? Kupikir siapa tadi. Soalnya nomornya asing.”

“Yup. Sekarang pakai nomor yang ini. Yang lain-lain dihapus lagi aja.”

Aku mengangguk-angguk sendiri. Senyum yang sejak tadi hadir di bibirku itu tak kunjung luntur.

**

“Gi, kamu jadian sama Elang?” tanyanya di halaman ruang kuliah ketika kami tidak sengaja berpapasan.

Aku nyengir lebar.

“Eh selamat ya. Semoga langgeng.”

“Makasih, Mas,” kataku seraya mengacungkan jempol.

Badai memberikan sebuah permen kopi, “Hadiah karena jadian,” ujarnya sambil nyengir lebar.

Kuterima pemberian Badai dengan senyum simpul. Nyatanya, Badai sama sekali tidak terganggu dengan fakta jika aku telah menjadi hubungan khusus dengan Elang. Senyumnya masih selebar biasanya. Pandangan matanya tetap ceria seperti yang sudah-sudah. Padahal, aku sudah mengorbankan semuanya, untuk tahu apakah dia punya perasaan tertarik yang sama denganku.

Aku tahu betapa bodoh dan menyesalnya aku melakukan ini semua. Bertaruh untuk hubungan yang jelas tanpa dasar perasaan apapun. Kupikir, Badai akan kecewa dengan pilihanku ini. Saat itu aku merasa seperti keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.

Hari-hari berlalu bersama hubunganku dan Elang yang biasa saja. Sementara itu, apa yang terjadi denganku dan Elang malah menjadikanku lebih dekat dengan Badai. Badai kupilih sebagai orang yang selalu menjadi tumpahan uneg-unegku. Aku mengerti tidak semestinya aku melakukan hal ini, tapi di Badai aku menemukan kenyamanan yang tak pernah kutemukan pada diri Elang. Hal itu yang membuat aku selalu mempertahankan hubunganku dengan Badai. Sebab bersamanya aku bisa bahagia dan menjadi diriku sendiri.

**

01:13

“Sekarang udah keren ya. Udah mau ngeluarin buku lagi.”

Aku terkekeh. “Buku yang mana?”

“Yang Singgah itu.”

“Oh itu sih antologi cerpen. Bukan aku yang ngurusin. Tinggal nunggu terbitnya aja. Jangan lupa beli lho,” jelasku bersemangat.

“Sip-sip,” sahutnya.

“Iya, nih, tapi skripsiku belum kunjung beres juga.”

Alih-alih nasehat, justru tawa yang keluar dari mulutnya. “Nggak apa-apalah. Yang penting masih bisa nulis ini, kan?”

Selama beberapa saat aku hanya terbengong-bengong mendengar kata-kata darinya. Di kala semua orang menegurku dan sok menasehatiku, Badai malah menertawakanku.

“Iya sih.”

“Nggak buru-buru, kan?” tanyanya lagi.

“Ya paling kampus yang ngeburu-buru,” balasku setelah kembali sadar sepenuhnya. Bukan hanya sadar dari kalimatnya tadi, tapi banyak kesadaran lain yang mendadak merasukiku saat itu juga.

Selanjutnya tawa kami berdua bersahutan di antara bunyi statis sambungan telepon itu. Salah satu sadarku adalah betapa aku merindukan derai tawanya. Selayaknya dulu kami sering menertawakan banyak hal bersama-sama.

**

“Aku sayang, Mas.”

“Aku juga sayang sama, Gigi.”

Begitulah salam-salam di akhir sesi telepon rutin kami. Kemudian aku akan tersenyum dalam tidurku. Kami berdua tahu kami saling menyukai dan sayang satu sama lain. Namun karena aku sudah terlanjut menjalin hubungan dengan Elang, aku tidak bisa membawa ke mana-mana hubungan ini. Bisa berbagi dengannya sudah cukup.

“Aku nggak cinta dia, Mas. Hubungan kami juga awalnya cuma main-main.”

“Ya, tapi dia kelihatan cinta kamu.”

“Ya, gitu….”

Kami tidak pernah mempertanyakan apa yang ada antara kami. Hubungan kami terikat sebatas berada dalam organisasi yang sama. Namun telepon-telepon panjang dan pesan-pesan yang tak habis-habis sudah cukup menjadi bukti bahwa kami saling mengadakan satu sama lain.

Aku mengerti kami sama-sama tahu dan membatasi diri. Sadar akan posisi kami yang tidak akan mungkin untuk bisa bersama. Maka selama kebersamaan kami bisa berjalan di organisasi yang kami jalankan bersama, itu menjadi waktu dan alasan terbaik yang kami punya.

“Aku suka sama Mas.”

“Aku juga suka sama kamu.”

Lebih dari itu mungkin akan jadi petaka bagi kami.

**

03:01

“Gimana kabar si kecil, Mas?” tanyaku tanpa ragu.

“Belum ada. Kan keguguran.”

Aku terhenyak mendengar jawaban Badai.

“Eh, aku nggak tahu, Mas,” ujarku dengan simpati.

“Udah setahunan yang lalu kok.”

**

Selama itu nyatanya kami tidak saling bicara. Kalimat terakhir darinya membawa pikiranku jauh ke satu momen yang tidak kukenal. Kubayangkan ketika Badai menghibur Raina, istrinya yang tersedu karena kehilangan bayi mereka. Detik itu aku merasa sesak, ada perasaan iri yang hadir di dalam hatiku.

Layaknya hari itu, ketika aku menerima telepon dari Badai setelah sekian lama Badai tidak menghubungiku. Hari itu, di bawah langit mendung, Badai mengabariku jika dia sedang berada di kampung halamannya di Wonosobo. Disusul kabar lain, berupa jika esok hari ia akan menikah dengan Raina, tetangga dekat di tempat tinggalnya.

Selama beberapa saat aku melongo mendengar kalimatnya itu. Kupikir aku bisa tertawa, ternyata aku hanya diam. Setelah jeda beberapa detik, aku langsung mengucapkan selamat dan memberikan doa singkat agar prosesi pernikahannya lancar di esok hari.

Kami masih saling tertawa di akhir telepon itu. Meski kami berjarak, Badai tak pernah gagal membuatku tertawa. Tawa yang kali ini disertai sadar diri jika dia tidak akan pernah bisa kumiliki lagi.

**

03:39

“Udah dulu ya, Gi. Semoga…, mau didoain apa nih?” tanya Badai.

Aku agak kaget karena dia begitu cepat mengakhiri sesi telepon itu. Rasanya kami baru saja bicara, mengapa sudah harus diselesaikan?

“Biar sehat terus, Mas,” jawabku pelan.

“Iya, semoga sehat terus ya.”

“Makasih, Mas. Mas juga ya semoga sehat terus. Salam buat si Mbak ya.”

“Iya. Kamu sendiri, ada yang bisa aku titipin salam nggak?”

Bibirku melengkungkan senyum kecut, “Nggak, Mas. Aku masih sendiri.”

**

“Mas, ini apa?!” tanyaku heboh di ruang sekretariat BEM seusai rapat itu. Badai menatapku dari berkas yang sedang ia periksa. Sementara aku mengacung-acungkan ponselnya di hadapan wajahnya. “Ini siapa?”

Cengiran lebar muncul di wajah Badai. Tangannya terjulur berusaha meraih ponsel itu dari tanganku.

“Eits, kasih tahu dulu habis jadian sama siapa?” kataku sambil berkelit.

“Apa sih, Gi.”

“Mas, jadian?” tanyaku penuh selidik setelah membongkar isi pesan singkatnya. Hasilnya, kutemukan deretan SMS dari dia-yang-namanya-disamarkan di kotak masuk ponsel Badai. Pesan-pesan itu lebih mesra dan terasa istimewa dibanding pesan yang dia kirimkan untukku.

Aku menelan ludah saat melihat Badai tersenyum dan mengangguk pelan.

Jadi, dia tidak pernah mencintaiku? Tidak pernah mengharapkan aku menjadi miliknya? Dia tidak memperjuangkan kami untuk bisa bersama?

Hari itu semua pikiran itu meledak dalam kepalaku.

“Itu Nadia.” Badai pun menyebutkan nama itu. Nama dari sosok yang sebelumnya tak pernah terlintas di benakku.

Kupandang Badai lekat-lekat. “Kapan kalian jadian?”

“Dua hari lalu.”

Aku terdiam selama sesaat. Mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padaku dua hari lalu. Akan tetapi, tidak terbersit apapun dalam pikiranku kecuali isi pesan-pesan singkat dari Nadia untuk Badai yang barusan kubaca.

“Ohh…. Selamat ya, Mas. Semoga langgeng,” bilangku sambil menyerahkan ponsel itu kepada Badai.

“Kamu jugalah. Langgeng sama Elang.”

Aku tersenyum kecut. Alih-alih menanggapi kalimat terakhirnya, aku malah menyatakan hal lain. “Ya, kita nggak bisa jalan bareng lagi dong. Nggak bisa sering telepon-teleponan lagi.”

“Ya bisalah. Kenapa nggak?”

“Ya aku tahu diri dong, Mas,” sahutku memaksa diriku untuk tertawa. “Aku mau permen kopinya dong, Mas.”

Semua yang terucap sore itu menjadi nyata. Hubungan kami merenggang. Aku menganggap perlu menjaga jarak, untuk menjaga perasaan Nadia yang juga temanku dan teman sekelas Elang. Telepon dan pesan tidak lagi datang sesering dulu. Meski setiap kami bertemu rasa nyaman yang kurasakan tak pernah luntur. Badai pun menceritakan hubungannya dengan Nadia yang seringkali memunculkan rasa cemburu dalam hatiku. Aku mengasihani diriku sendiri yang terjebak dalam hubungan yang tak berdasar cinta.

Terakhir aku tahu hubungan Badai dan Nadia berakhir karena perbedaan prinsip. Sementara hubunganku dan Elang masih terus berlanjut. Aku berharap situasi antara aku dan Badai bisa kembali seperti dulu. Sayangnya, bersamaan dengan kelulusannya, Badai akhirnya pergi ke tempatnya yang baru. Jarak makin lebar di antara kami. Jarak yang kemudian menghanyutkan telepon-telepon dan pesan-pesan entah ke mana.

Call ended 04:19

 *

Ponsel itu masih ada dalam genggamanku. Mataku menerawang ke dinding putih kamarku. Ada euforia yang kurasakan dalam hatiku. Rasa yang datang berbarengan dengan segenap perasaan perih dan penyesalan bertubi.

Semua pembicaran tadi terasa begitu cepat. Akan tetapi empat menit yang kupunya itu seakan mengembalikan lagi segala kenangan yang sebelumnya sudah kusimpan rapat-rapat. Aku mulai mengulangi lagi semua rekaman pembicaraanku dengan Badai. Tawa lepasku, gelak tawanya, bagaimana ia masih mengingatku seperti dulu, bagaimana aku masih merasakan kenyamanan setiap kali mengatakan apapun padanya. Sebab aku tahu dia mengerti, dia tidak pernah menghakimi. Karena aku tahu dia menikmati berbicara padaku, dulu. Sekarang aku menyadari aku pun masih menyukai sesi mengobrol dengannya, aku menyukainya, dan aku menginginkan lagi.

Aku menelan ludah dan mengembuskan napas panjang. Nyata setelah sekian lama, aku merindukan sosok Badai. Dia yang selalu aku anggap kakak, sahabat, partner diskusi, dan seseorang yang kusayangi. Aku tidak banyak mengingat apa-apa saja yang pernah kami lakukan bersama dulu, tapi aku jelas tahu jika rasa bahagia bersamanya itu nyata. Apa yang selama ini kucari ternyata kutemukan pada dirinya dan sekarang baru kusadari semua. Aku terlambat tahu. Dialah sosok yang selama ini kucari dan kurindukan.

Kini aku baru sadar jika aku benar-benar jatuh cinta padanya.

Buru-buru aku mengetik sebuah pesan pendek untuknya.

Kapan-kapan boleh aku telepon lagi?

Semua tak lagi sama. Tidak bijak rasanya untuk mengirimkan pesan itu kepada seseorang yang sudah beristri. Setidaknya aku masih tahu diri, terlebih dengan perasaan yang kumiliki sekarang. Waktu memang tidak pernah bisa mundur, aku tak pernah punya kesempatan untuk memperbaiki semua yang kusesali sekarang. Yang jelas dulu dan di 4 menit 19 detik yang lalu dia memang pernah jadi milikku.

Pesan itu tak pernah terkirimkan.

 

 

Bogor, September 2012

Ditulis untuk proyek patah hati gagas, tapi nggak dikirimkan juga.

6 pemikiran pada “04:19

  1. Ping balik: Empat Menit « akunulis

Tinggalkan komentar