Arcadia & Hadrian: Daun-daun yang menari

Cerita sebelumnya: Sihir Hutan


Dari balik dindingnya, Lusi sering mendengar kisikan dan rintihan. Kadang-kadang isak tangis yang perih. Pagi ini sunyi dan sepi. Dia duduk sendiri di bagian belakang rumah, memandang gerimis. Ini yang pertama setelah dua bulan matahari menguasai siang hari sepenuhnya.

Dari hanya rintik, perlahan berubah deras. Dia meneguk tehnya perlahan, menikmati bunyi hujan. Saat ini dia merasa damai, bebas dari suara-suara. Namun dia tahu, bisikan-bisikan itu akan kembali. Dimulai dari permukaan tehnya yang berombak. Di sekitarnya, semua berada di posisi yang sama. Tak ada guncangan. Lambat laun, golak teh itu menguat dan menumpahkan sebagian isinya ke tatakan. Lusi masih diam mematung. Mengamati semua itu sambil terus mendengarkan. Di antara detap, ada gemuruh yang jauh. Sekaligus begitu dekat, Lusi menghadap dinding. Mengamatinya dengan saksama. Kegaduhan itu berasal dari sana.

Gemuntur dunia yang gurub.

**

Anjing itu melesat ke semak-semak diikuti kawanannya. Arcadia membuang kayunya yang penuh asap, mengangkat potongan tangan itu dari tanah.

Dia mengernyit saat berlari membawa potongan tangan itu mendekat ke Hadrian. Arcadia bisa menebak apa yang terjadi. Hadrian menyelamatkan mereka dengan meledakkan kepala beruang itu… dan memutuskan tangannya.

Pemuda itu tidak sadarkan diri ketika Arcadia sampai di sisinya. Dia meletakkan potongan tangan itu di atas daun-daun yang lembap. Dia meluruskan posisi tangan Hadrian yang bermandikan darah. Kemudian menaruh potongan itu di tempatnya yang seharusnya.

Arcadia berdiri, mengamati sekitarnya. Jantungnya berdegup sangat kencang hingga dadanya terasa sakit. Dia mengusap peluh yang membanjiri sekujur wajahnya. Sesekali butir keringat itu lolos dan memburamkan mata Arcadia. Sambil berusaha mengingat apa yang pernah dia pelajari sebagai asisten Penyembuh, Arcadia memastikan Hadrian tetap hidup. Dada pemuda itu bergerak naik turun. Pemuda itu tidak akan bertahan lama dengan luka separah ini.

Gadis itu mulai berjalan lagi. Setiap beberapa kaki, dia menoleh dan mengecek keberadaan Hadrian. Dia menjentikkan jari, cahaya sebesar kelereng keluar dari sana. Mengambang diam sampai Arcadia merapal sesuatu tanpa suara. Cahaya jingga itu melesat, Arcadia mengikuti sesigap yang bisa tubuh terlukanya lakukan. Sulit abai pada kakinya yang sakit menggigit setiap kali membuat pijakan. Arcadia melangkah lebar. Berkali-kali mengerang nyeri tapi tak berhenti. Dia mengulum bibirnya keras-keras. Tak peduli lagi duri dan ranting yang menggores kakinya. Langkahnya baru berhenti ketika cahaya itu tak lagi bergerak.

Tanaman rambat di depannya menguasai batang sebuah pohon raksasa. Terjalin bersama jaring-jaring tebal sutra dari laba-laba yang menggerutu karena kehadiran Arcadia. Dia menarik satu sulur hijau kekuningan, menggulungnya tergesa-gesa. Puluhan laba-laba berbulu yang terus menggerundel itu berloncatan ke tubuhnya. Dia menyapu laba-laba itu dengan tangan dan gulungannya kendur ke tanah lagi. Kedua matanya memanas oleh nyeri dan cemas berlebih. Pelipisnya berdenyut cepat seolah pembuluh di baliknya nyaris meledak. Usahanya sia-sia, kawanan laba-laba itu mendaki tubuhnya, mencakar kulitnya dengan ujung kaki-kaki mereka.

Tubuh gadis itu gemetar. Dia menggulung lebih cepat. Sampai dia mendapatkan sulur itu secukupnya, tubuhnya makin menggigil. Dia menyapu dan membuangi laba-laba pakaian dan rambutnya, lalu kembali kepada Hadrian.

Dia meyakinkan dirinya sendiri akan meminta Hadrian membayar semua kekacauan ini.

Gadis itu berlutut di samping tubuh Hadrian yang kini dingin. Membebat tangan Hadrian yang putus dengan sulur tadi dan menyelipkan ranting di antaranya. Setelah tertutup, Arcadia melingkarkan tangannya yang basah oleh darah di sana. Sulur tanaman itu bergerak-gerak, menggeliat.

Dia mencurahkan seluruh perhatiannya hingga tidak menyadari ada sosok yang mengamatinya dari jauh. Sosok itu begitu bergas. Pada setiap gerakannya nyaris tak muncul kersak.

Ketika sosok itu ikut berlutut di sisi Hadrian barulah Arcadia menyadari. Daun-daun menari di sekitar mereka. Sosok itu tersenyum pada Arcadia. Bola matanya sekuning mahkota dandelion, warna kulitnya serupa kayu, rambutnya selembut aliran sungai. Dia memegang pergelangan tangan Arcadia. Menyurutkan gerakan sulur-sulur yang kini kecokelatan itu.

Arcadia tak bisa melepas pandangannya dari sosok itu. Gaunnya yang sehijau kanopi begitu teduh. Arcadia merasakan ketenangan hadir bersamanya. Sesaat kemudian, Arcadia sadar jika itu memang daun-daun yang dijalin. Pola-pola yang ada di sana, yang menurut Arcadia begitu indah tadi, dibentuk oleh ulat-ulat berbagai warna, kupu-kupu yang sedang hinggap, dan laba-laba yang membangun jaring.

“Dia tidak semestinya mati, iya kan, Arcadia?” Suaranya lembut dan teguh.

Arcadia belum mampu menjawab. Namun dia mengangkat kedua tangannya. Merutuki apa yang diperbuatnya dalam hati. Dia belum selesai menyambung tulang tangan Hadrian.

Sosok itu membelai bahu Arcadia. Rasa dingin menyebar dari sana ke seluruh tubuhnya. Tangan sosok itu terus membelai punggung Arcadia. Memberikan sensasi yang menyebabkan Arcadia mual sekaligus antusias. Dia tidak tahu apa yang sosok itu lakukan kepadanya. Telapak tangan sosok itu melekat di belakang bahunya. Kali ini begitu panas dan sangat menyakitinya.

Arcardia terengah. Dalam tubuhnya serasa terbakar. Dia memandang sosok itu yang kini berdiri. Gaun hijaunya berkelebat oleh angin.

“Aku meninggalkan sesuatu untukmu, Arcadia. Harga untuk sihir yang kalian lakukan di sini, di hutanku.”

Bersambung.

Tinggalkan komentar