Bebal

“Karena aku melihat masa depan miliknya. Aku bisa merasakan. Aku bisa menggambarkan masa depan kami. Hari-hari keren jika dia memutuskan memilihku.” Pandangan perempuan itu berbinar-binar, padahal hanya mengamati ke sembarang arah. Bahasa wajahnya mengungkapkan seolah-olah dia sedang melihat permata yang tak kasat mata. Istimewa hanya untuknya.

Robi mengernyitkan dahi dan menarik Irish coffee-nya mendekat. “Jadi itu yang selama ini kamu pelajari di sekolah bisnis? Kukira kamu sedang ambil kelas untuk administrasi bisnis. Bukan malah jadi cenayang dan dukun begini.”

Perempuan itu mencibir. Dia mengaduk es teh lecinya. Siang itu memang panas dan dia sudah mencapai gelas yang kedua. “Bukan gitu maksudku. Di prodi itu iyalah kami belajar juga tentang ramalan, forecasting, ke mana uang mengalir, ke mana organisasi ini bakal bergerak. Di dasar semua itu, ada visi, ada potensi, ada rencana. Inilah yang aku lihat dari dia. Potensi. Potensi yang besar.”

“Potensi hidup makmur karena mobilnya bagus dan keluarganya kaya raya, Ti?” sahut Robi dengan nada agak mengejek.

Asti melempar tisu kotor yang sudah jadi bola. Pendar matanya kini semakin fokus dan tajam. Dia sedang serius. “Itu cuma faktor pendukung. Sama seperti bokongnya yang padat, tengkuknya yang seksi, dan jari-jari panjangnya yang nyaman digenggam. Itu semua hanya bonus! Tapi bukan itu, Bi. Sama sekali bukan itu,” katanya sembari menggeleng sambil memijit dahi.

Robi cuma mengerutkan kening. Mengangguk lagi sambil mencomot kentang goreng yang hampir habis. Pengunjung yang tadi memadati untuk makan siang sudah satu per satu pergi. Tempat ini jadi sepi kembali dengan lantunan jazz tahun 1920-an yang mengalun pelan. “Lantas apa? Kamu bikin semua ini jadi rumit. Kamu bilang cinta saja, atau karena tertarik penampilannya saja juga nggak akan ada yang mempermasalahkan.”

“Bukannya hampir setiap orang mencoba merasionalisasi perasaan mereka? Karena jatuh hati karena penampilan dianggap dangkal. Karena jatuh cinta saja nggak cukup jadi alasan. Selalu ada gerbong-gerbong alasan yang mengikuti.”

“Dan kamu mulai dari gerbong belakang.” Robi menyeringai. 

Terdengar helaan napas berat. Tatapan perempuan itu kembali mengawang-awang. “Sebab memilih dia tanpa alasan yang masuk akal, jadi sesuatu yang mustahil buatku. Terlalu banyak perbedaan sampai aku memutuskan untuk memilih. Kalau saja dia mau menerimaku, aku akan menjadikan dia sesuatu yang besar. Karena aku tahu dia mampu. Dia punya pondasinya.” 

Kalimat itu berakhir bersamaan dengan ujung sebuah lagu. Robi menatap sekilas lawan bicaranya. Dia rela mengajukan cuti sehari demi menemani perempuan itu yang jauh-jauh datang dari tanah seberang demi mencari sebuah buku di Jakarta. Seteguk lagi Irish coffee mengaliri kerongkongannya. Kafe ini terasa makin sepi. Perempuan itu semakin dalam melamun. Tapi mendadak, Asti menoleh, menangkap basah Robi memandanginya. Bibirnya yang merah kecoklatan itu tersenyum.

“Kalau saja dia mau bersamaku, mau jadi apa pun dia, bos mafia, anggota dewan, ketua DPRD, sampai presiden pun, akan aku carikan jalan. Aku akan jadi orang di sebelahnya. Dia jenderal, aku si strategis. Aku dan dia akan meraih kesuksesan bersama.” Asti tertawa keras. Tidak ada yang lucu. Tapi ambisi-ambisi memberikan energi berlebih dan mendenyutkan hidupnya kembali. Meskipun saat ini, ambisi itu masih hanya miliknya sendiri. Akan tetapi, dia meyakini lambat laun, satu per satu langkah dia bisa menjadikan itu bukan targetnya sendiri. Tawanya berhenti berganti senyum kenes. “Eh, itu ketinggian sih. Tapi paling dekat, kalau dia nantinya punya ambisi jadi dekan di kampus kami mengajar, aku bakal mengalah dan memberikan jalan ke dia. Asal dia mau. Asal dia berkomitmen untuk jalan bersama.”

Robi meneguk minumannya lagi, kali ini sampai habis. Rasa-rasanya dia ingin tertawa, tapi menelan itu semua dengan teguk demi teguk kopi. Belum pernah perempuan itu seperti sekarang. Jatuh cinta. Tergila-gila. Susah payah mencari alasan. Mati-matian mendefinisikan. “Ya baguslah. Aku doakan yang terbaik. Moga-moga nanti di hari pernikahanku, kamu nggak datang sendiri saja, tapi bersama dia,” ujar Robi, antara suka dan tidak suka mengatakan itu. Benaknya berharap lain. Jika perempuan ini tidak perlu datang bersama laki-laki itu. Lebih baik menangis sekarang daripada sakit kemudian.

Namun perempuan ini terlalu bebal. Pikirannya sudah jadi. Sudah berkali-kali ingin mundur, tapi maju kembali. Padahal, Robi tahu betul seorang Asti pantas mendapatkan yang lebih baik dibanding laki-laki yang sepertinya egois itu, yang selalu merasa dirinya lebih tinggi dan berbeda dibanding orang-orang lain. Laki-laki yang bahkan tidak bisa menggunakan kedua matanya dengan baik untuk melihat segala hal yang sudah Asti lakukan untuknya. 

Robi menghela napas panjang. Dia mengambil sebuah buku puisi yang mereka temukan di pasar loak Blok M. Biasanya dalam perjalanan yang lain, mereka akan mampir di toko buku besar dan saling membacakan puisi di lorongnya, dari penyair ternama atau yang sekadar instapoet saja. Namun segala rutininas itu kini digeser oleh kisah tentang laki-laki yang hanya pernah Robi dengar cerita-ceritanya saja.

Asti menghela napas panjang. Dia menciduk leci dan mengamatinya lekat-lekat. Tidak ada yang menarik. Tapi dia mampu mengubah buah berdaging putih itu jadi sebuah cerita. Serat-seratnya yang kentara. Sinar matahari yang menembus lewat jendela dan jatuh ke meja mereka. Obrolan sayup-sayup dari konter. Wangi roti yang baru keluar dari oven. Lalu di tengah semua itu, dia akan memunculkan lelaki itu, sosok yang selalu memenuhi pikirannya.

Dimulai dari dua tahun lalu, ketika dia mendengar kisah sederhana tentang memanjat dinding-dinding Tebing Selero. Kisah lama. Simpel saja bagi lelaki itu, tapi Asti berbinar dan berdebar. Dia menyukai petualangan dan lelaki itu pernah ada di mana-mana, saat itu juga memijak di hati Asti. Pada mata lelaki itu, Asti menemukan sesuatu yang menggeliat perlahan, tenang, tapi dapat menenggelamkan. Lebih dari itu, sepasang mata tersebut terlalu dalam, tajam, dan memikat. Tapi entah mengapa tak seorang pun terpikat. Dari situ, Asti tahu jika lelaki itu bisa menjasi sesuatu yang besar. Semestinya.

Ditulis pada 24 Agustus 2020

Tinggalkan komentar