One More Light (1)

Tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Terinspirasi dari lagu One More Light karya Linkin Park. Tantangan dari Ulfa. Dan ini adalah bagian pertamanya.

#1

Just ’cause you can’t see it, doesn’t mean it, isn’t there

Pikirannya tercebur ke laut. Dibawa arus. Sinar mengejar. Kaki dan tangannya mengayuh keras-keras. Ombak bergulung-gulung menghempaskannya. Sinar tidak menyerah. Dia terus berenang, menentang arus, mengabaikan dingin, asin, dan pedih. 

Di atasnya, langit beranjak ungu. Di sekitarnya, lautan kian gelap membiru. Dia mulai kehilangan jejak. Ombak mengacau, menghapus dan menelan apa pun yang berani berpapasan. Satu titik bintang menggantung di angkasa. Dia berhenti bergerak. Mengapung. Memandang. Tak lagi menantang. Sinar mendapatkan sepotong kesadaran. Jika terus melawan, dia akan segera dapat giliran ditelan.

Tubuhnya berayun seirama gelombang. Kini hanya dia dan ingatan akan tragedi-tragedi lautan. Dia menyenangi kisah-kisah itu. Wujud-wujud fatamorgana. Badai-badai penuh rahasia. Gelombang yang lebih tinggi dari para buta. Kapal-kapal yang lenyap dan karam. Dari Andrea Doria hingga Estonia. Mungkin seperti ini rasanya terombang-ambing dan kesepian. Mungkin inilah momen ketika harapan bisa lahir dan mati bersamaan. Sinar memandang lagi bintang terang di atas kepalanya. Yang menjadi penunjuk jalan pulang para pelaut bukan cahaya tersebut, melainkan gemintang lain yang kini tak tampak. Padahal Sinar merasa sudah saatnya dia harus pulang.

Dia mulai bergerak untuk menuju tepi. Dia memutar badan, mencari daratan yang jadi tujuan. Rasanya perjalanannya tadi tak lama, tapi kini seakan begitu jauh. Malam nanti dia punya janji, jadi bagaimanapun juga dia mesti menepi. Ketika Sinar baru hendak memulai kayuhannya, tubuhnya tersentak. Terbanting. Terdorong. Kehilangan pilihan. Hanya ada air di depan wajahnya. Buih putih dan gelembung. Tanpa langit. Bintang paling terang tadi terluput. Dia tergulung. Dia menghirup dan menelan air. Susah payah dia keluar dari daratan, dan kini setelah di sini lautan pun menghalanginya pulang. Dia mendorong kaki dan tangannya. Berusaha menggapai udara. Dia ditelan ombak. Dia harus naik ke permukaan. Dia menendang kedua kaki. Sekuat tenaga mengayuh tangan. Menembus batas air. Dia kembali. Bintang itu masih di sana. Dia terengah-engah. Dadanya sakit. Dia meludahkan air laut. Di sekitarnya seakan tak pernah terjadi apa pun. Dia tak berarti. Dia seolah hanya setitik partikel tinta, di antara huruf, titik, dan koma dalam sebuah prosa. 

Dia ingat sebuah nasihat lama: jangan memunggungi lautan. Dia mengingkari itu. Akan tetapi, itu satu-satunya cara untuk dapat menginjakkan kaki di tanah lagi. Dia terbatuk. Air laut kembali masuk mulutnya. Rasa garam itu ada di mana-mana. Napasnya semakin pendek-pendek. Kepalanya mulai nyeri. Tangannya seperti kaku. Dia masih di tempat yang sama. Terpaku. Bintang di atas kepalanya semakin tinggi. Dia harus segera mencapai pantai dan sebelum itu dia menoleh–dia tak ingin diterkam diam-diam untuk kedua kali. Dia terperanjat sekali lagi. 

“Duluan. Saya awasi dari belakang.”

Sinar nyaris kehilangan keseimbangan. Dia tidak jatuh. Hanya sesaat kehilangan batas horison dari pandangan. Tapi sebuah genggaman tangan segera menariknya. Dia gemetaran. Keras. Sampai dia merasa laki-laki itu bisa melihat gigil itu dalam matanya. Tubuh mereka diterpa gelombang, tapi tatapan mereka menetap sejenak. Sinar yakin laki-laki itu bisa menangkap kegelisahannya. Seakan ketakutan itu mengalir dari bagian tubuh mereka yang bersentuhan. Namun sorot sepasang mata itu hidup dan hangat. Hitam yang kemilau. Yang lebih kelam dibanding lautan di sekeliling mereka.

“Saya bisa sendiri,” ujar Sinar tercekat.

Lelaki itu segera melepaskan tangannya. Mengangguk pelan sebagai isyarat jika dia minta Sinar segera melaju. 

Dengan seseorang di belakangnya, Sinar tidak lagi takut lautan akan memangsanya diam-diam. Mereka bukan predator… mungkin mereka hanya ingin berbagi. Mengklaim apa yang mereka inginkan. Menghukum yang terlalu tamak dan arogan. Mereka hidup dengan aturan dan hukum yang tak dipahami oleh manusia. Atau mungkin sebenarnya mereka selalu bicara, tapi manusia enggan mendengar.

Bisik-bisik yang didengar Sinar. Air yang berbicara. Pikirannya yang terlempar ke laut dan tak bisa ditemukan lagi. Seperti ketika kita merasa tahu sesuatu tapi tak tahu apakah sesuatu itu. Seperti berusaha mengingat apa yang tak dapat diingat. 

Yang hilang dari Sinar bukan memori tentang kaki yang menjejak di pasir. Atau tentang caranya berjalan. Sinar kini bisa kembali berdiri. Daratan kering tinggal dua meter di belakangnya. Dia menghadap laut. Memperhatikan laki-laki yang berjalan ke arahnya. Lelaki itu memakai pakaian renang yang menutupi seluruh tubuh. Dia membawa papan selancar. Dia tersenyum. Lewat bibirnya, lewat pancaran matanya. Seakan dia teramat lega mereka tidak kurang suatu apa pun saat kembali di sini. 

“Mau bergabung dengan saya dan teman-teman?” tanyanya, sambil menunjuk ke arah belakang.

Kelompok yang ditunjuk lelaki itu tidak sulit ditemukan. Ada lima lelaki yang bersantai dan bersenda gurau. Bernyanyi dengan gitar. Menyeduh minuman. Memanggang penganan di atas api yang tidak besar. Latar belakang mereka merupakan halaman luas berumput milik salah satu penginapan ramah lingkungan. Di halaman itu lampu-lampu gantung yang dirangkai sudah menyala. 

“Terima kasih tawarannya. Tapi, sepertinya saya mau langsung pulang saja.”

“Jauh?”

Sinar menggeleng. “Dekat kok, hanya di sana saja,” ujarnya asal tunjuk. Sinar tahu lelaki itu pasti akan percaya karena di pantai ini berderet-deret cottage, homestay, resort, dan penginapan. 

“Kamu memang kelihatan lelah. Lebih baik istirahat dan jangan lupa makan malam,” bilang lelaki itu. “Restoran penginapan kami punya menu-menu yang enak. Kamu harus coba mungkin untuk makan malam atau ya kapan-kapan.”

Sinar mengangguk dan tersenyum. Dia menyingkirkan sekumpulan rambut yang lengket di pelipis. Tadi dia mengepang rambut sebahunya. Tapi kini semua berantakan. Walau senja ini kelihatan begitu indah. Dengan gurat-gurat awan yang jingga dan ungu. Suara nyanyian merdu dari belakang mereka–pasti salah satu teman lelaki ini. Tawa sekelompok anak kecil yang begitu riang. Anak-anak itu berlari di antara mereka menuju pantai yang ombaknya tidak setegas di luar sana. 

Mereka bersitatap. Lelaki itu bukan lagi remaja tanggung seusia Sinar. Langsing dan tegap. Tubuh yang Sinar bayangkan akan mudah meliuk di antara arus lautan. Wajahnya oval dengan cambang di rahang. Rambut hitam lelaki itu kuyup, helai-helainya menempel di dahi. Bibirnya tidak lagi tersenyum. Tapi kedua matanya menyorot begitu ramah, seperti senyuman, seperti seorang bijak yang begitu familiar. Sinar tahu dari sanalah perasaan tentram yang sejak tadi dia rasakan.

“Jangan berenang seperti tadi. Berbahaya.” Suara lelaki itu tertahan.

“Maaf.” Sinar menunduk dan melirik. Lelaki itu tidak kunjung pergi. Sinar menatap ke arah lain, pada papan selancar yang menemani lelaki itu. Hijau dan merah tua. Putih dan mint. Warna itu dicampur saling tumpang tindih dihias pula dengan ilustrasi karakter berkepala kotak, bergigi besar, tidak tersenyum, matanya hanya setitik dan sedang bersedih. 

“Kamu baik-baik saja?”

Sinar mengiyakan. Meski tidak terlalu yakin apa yang lelaki itu tanyakan. Deru ombak, tawa riang dari bocah-bocah mau pun kawan lelaki itu mengaburkan apa yang terucap. Mereka saling memandang lagi sekilas. Sinar berharap lelaki itu segera pergi, sekaligus tetap di sini. Lelaki itu juga, seakan hendak beranjak, tapi masih ada yang menahan kedua kakinya itu menetap. 

“Kamu yakin tidak mau bergabung dengan kami?” tanyanya sekali lagi.

Sinar menghela napas. Dia menggeleng. “Terima kasih,” ujarnya mulai melangkah.

“Oke.” Lelaki itu maju selangkah. Akan tetapi, segera berhenti kembali dan memandang Sinar lekat-lekat. “Boleh saya tanya sesuatu?”

Sinar berhenti lagi.

“Kenapa berenang seperti itu apakah–”

“Nggak. Bukan. Aku bukan hendak bunuh diri.” Sinar menyela. Dia tidak tahu apa yang akan lelaki itu katakan. Tapi dia ingin mengucapkan kisahnya dengan jujur. Tadi dia hanya mendengar suruhan dalam kepalanya yang memerintahkannya terus berenang, terus untuk mengejar pikirannya yang hanyut. Sinar membayangkan mengucapkan itu semua dan lelaki itu tertawa. Akan tetapi, nyatanya lelaki itu bungkam. Mata lelaki itu membulat dan dia menelan kembali perkataan yang akan dilontarkan. “Aku kehilangan sesuatu. Jadi aku cari,” ujar Sinar singkat.

Sejenak lelaki itu terdiam, lalu menatap Sinar agak lama. Sinar juga tidak berpaling. Laki-laki itu membelakangi langit bersemburat senja. Wajahnya tidak lagi kebagian cahaya, semakin temaram. Air mukanya tak lagi terbaca. Hanya saja Sinar merasa, emosi yang tadi bergolak di mata itu perlahan mereda. 

“Tunggu saja. Lautan selalu pemurah hati. Pasti akan dikembalikan,” ujarnya lembut. Pandangannya meneduh. “Yang memang milikmu akan kembali kepadamu.”

Lelaki itu tersenyum singkat. Berpamitan. Mengangguk pada Sinar dan meninggalkannya. Sinar tergugu. Dia ingin membalas dan menanyakan apakah lelaki itu pernah memiliki sesuatu tapi tak bisa menjaganya. Dia ingin menahan lengan lelaki itu. Akan tetapi, lelaki itu sudah jauh melangkah ke sisi yang masih penuh cahaya senja. Kepergian lelaki itu seolah merampas rasa berharga yang baru saja ada. Sinar menggigit bibir. Melangkah gontai sambil memeluk tubuhnya yang menggigil. Bagaimana tubuhnya baik-baik saja, dia juga tidak paham. Dia tidak pernah dihantam sekeras itu oleh ombak. Tak pernah minum air laut sebanyak tadi. 

Dia menoleh ke belakang. Sekilas, sesaat dia merasa lelaki tadi juga sedang memperhatikannya. Namun dia mungkin salah. Sekarang sudah nyaris gelap. Dia menatap langit, menemukan lebih banyak bintang yang akan menemani perjalanan pulangnya. Seperti itu lah sepasang mata lelaki itu. Hingga tahun berlalu Sinar akan selalu mengenang momen ini. Disertai penyesalan mengapa tidak ada nama yang sempat diucap. Sampai akhirnya, dia bisa melihatnya lagi suatu hari di masa mendatang, menatapnya dengan dekat, begitu lekat–sewaktu sekali lagi Sinar belajar, harapan dan keputusasaan bisa lahir dan mati bersamaan. 

Sejenak Sinar tetap di situ, memandang jauh pada ombak yang tak pernah usai. Air itu menjadi ombak, lantas pecah dan tak pernah benar-benar hilang. Kembali ke awal. Buih ombak mencapai kedua kakinya. Kembali ke samudra. Pasir mencekung di sekitar pijakannya. Dia bergerak. Pelan berputar, mengambil arah berlawanan, menuju sisi langit yang makin gelap. Pada akhirnya, semua akan sama. Malam segera tiba.

7 November 2022

Teruskan ke bagian kedua.

Satu pemikiran pada “One More Light (1)

  1. Ping balik: One More Light (2) – Hero of The Drama

Tinggalkan komentar