Rasa Jeruk

Dia masih bisa merasakan asam jeruk di mulutnya saat matanya silau oleh cahaya kebiruan. Sekejap, dia tidak lagi duduk di beranda rumahnya, melainkan sebuah padang rumput yang seolah tanpa batas.

Mulutnya terbuka lebar. Kaget namun tak keluar teriakan apa-apa dari sana. Sekelompok burung kabur meninggalkan ciutan berisik yang membuatnya terbatuk. Dia membungkuk, tubuhnya terguncang, biji jeruk terlempar dari mulutnya, menggelinding sampai ke tepi gaun merah muda yang digunakannya.

Di mana piyama yang tadi dipakainya? (lebih…)

Selamat ulang tahun, Eve (bagian 3)

Baca ‘Selamat ulang tahun, Eve’ (bagian 2 dari 3).


 

Chris muncul dari basemen, membawa sesuatu di tangannya, seperti sebuah boneka. Dia meletakkannya di depanku. “Berikan ini pada Samantha.”

Aku berhenti membaca. “Dia memintamu untuk membuatnya.”

“Berikan saja padanya. Jangan bilang aku yang merakitnya.”

Kupandangi robot kecil itu. Disusun dari bahan-bahan yang sederhana, bahkan nyaris tak ada bedanya dengan robot plastik milik Samantha.

“Tapi dia bisa bernyanyi,” Chris nyengir lebar, seakan barusan bisa membaca pikiranku. Dia memijit saklar di bagian belakang robot kecil itu. Seketika, terdengar suara Judy Garland dengan lagu legendarisnya, Somewhere Over the Rainbow.

“Seperti kotak musik yang aku punya waktu kecil.”

“Seperti itulah,” sahutnya pendek. “Dia akan menyukai itu, Eve. Dia menyukaimu. Menyayangimu. Hanya saja… dia belum bisa melupakan Emma.”

Aku menelan ludah. “Aku tidak akan pernah bisa menggantikannya, kan? Tidak akan pernah.”

“Eve….” Chris kehilangan kata-kata. Sebelum ini, sejak kali pertama Chris mendarat di rumah ini, kami tak pernah membahas tentang Emma. Aku menghormati Chris yang masih berduka. (lebih…)

Selamat ulang tahun, Eve (bagian 2)

Baca ‘Selamat ulang tahun, Eve’ (bagian 1 dari 3) 


Tubuhku terguncang saat mendengar suara letusan senjata. Kedua mataku terbuka, menerima terlalu banyak sinar matahari, dan terpejam lagi. Telingaku menangkap lagi suara itu, beruntun, yang akhirnya memaksaku untuk bangun. Dengan hati-hati aku turun dari ranjang agar tidak membangunkan anak perempuan yang masih terlelap di sampingku. Aku menarik foto yang sudah kumal dari tangan anak itu, menaruhnya di nakas. Di sana, aku menemukan sebuah cincin keperakan. Bukan tempat cincin itu di sini. Aku meraihnya, merasakan berat dan halusnya di tanganku.

Dari ambang pintu, aku melihat pria yang kukenal baik berdiri di balik jendela dan melakukan ritual paginya. Aku menghampirinya, bersandar di birai dan menyeruput teh yang dalam cangkirnya.

“Kamu melupakan ini,” kataku, mengulurkan cincin itu padanya.

Sesaat, dia hanya membisu. Mengambil cincin itu dari tanganku dan menggunakannya. Sekarang cincin itu terlihat longgar. Seperti cincin itu memang bukan dibuat untuk ukuran jarinya kini.

“Apa yang kaulakukan?” tanyaku, mencoba mengalihkan pikiran dari cincin tersebut. “Kamu tidak bisa menonaktifkan mereka dengan peluru biasa.” (lebih…)

Selamat ulang tahun, Eve

Aku mendapat hadiah sebuah kue tart yang setengahnya hangus terbakar untuk ulang tahunku. Kakiku menyempar angka dua yang tergeletak di lantai. Yang ini malah sama sekali tak tersentuh api, kecuali sumbunya sedikit. Aku tertegun di depan meja makan. Memasang telinga baik-baik, menangkap suara apapun selain desau angin dari jendela yang terbuka.

Cuma kesunyian yang kudapati. Berserta napasku yang menderu satu persatu. Aku baru menerima teleponnya beberapa jam lalu, memintaku untuk segera pulang. Tanganku menggenggam lilin dingin itu erat-erat. Aku beranjak dari ruang makan, menuju ke selasar singkat yang diujungnya terdapat dua kamar. Satu di antaranya, kini terbuka lebar.

“Samantha?” panggilku pelan.

Tak ada jawaban. Aku mengambil pistol yang selalu kubawa di dalam tas kerjaku. Melepas penguncinya dan mengacungkannya ke muara lorong. Aku sadar ini keputusan yang amat berisiko dan ceroboh, namun aku tak berhenti. Langkah-langkahku menapak makin dekat pada pintu. Keringat mengucur di pelipisku, padahal udara dingin bertiup di lorong. (lebih…)

Perpisahan tak pernah mudah

Bus jemputan yang hanya terisi setengah kapasitas ini melaju tanpa pengemudi. Sunyi dan sepi, tak ada mulut-mulut yang berbicara, bahkan sepasang anak kecil yang duduk di hadapanku. Mereka berlutut di atas kursinya masing-masing, memandang keluar jendela. Di sana, semua abu-abu, salju dan debu yang jadi satu.

Kusunggingkan senyum pada perempuan dengan terusan merah yang tampaknya adalah ibu dari kedua anak itu. Ketika aku melihatnya, aku langsung mengerti mengapa dia ada di sini. Ini kali pertama kunjunganku ke Baikonur Cosmodrome, harusnya aku antusias karena tidak sembarangan orang bisa datang ke sini. Namun, setiap kali memikirkan hari esok, rasanya aku ingin cepat-cepat pulang dan bergelung di bawah selimut. (lebih…)

Negeri Kupu-Kupu dan Sejuta Kunang-Kunang

Alkisah, di negeri kupu-kupu, terdapat distrik yang selalu mati lampu. Penduduknya taat membayar upeti. Bahkan, tak pernah lupa menyetor minyak dan gas bumi pada perusahaan lampu.

Elena, si kutu buku, geram karena setiap malam tak bisa me,baca buku. Ia mengirim surat berisi keluhan ke perusahaan lampu. Namun, surat-suratnya hanya ditanggapi seperti angin lalu.

Ibu kota negeri kupu-kupu nyaris tak pernah tersentuh gelap. Terang benderan dan penuh gedung bertingkat. Indah dan di sanalah perusahaan lampu berada. Elena medatangi tempat itu, lagi-lagi ia tak didengarkan dan dianggap hanya kutu.

Dalam perjalanan pulang ke distrik, Elena melewati sebuah danau. Ketika itu malam sudah turun, tetapi danau itu terang benderang. Ah, baru ia sadar di sana ada berjuta kunang-kunang. Terbang ke sana kemari dan membuat ia takjub sampai tak sadar hampir dini hari.

Elena pun lari hingga distrik. Bersimbah peluh, ia merasakan desakan dalam hatinya untuk menuju perpustakaan distrik. Ia menggedor pintu penjaga perpustakaan yang mengenalnya dan memaksa meminta kunci. Sepanjang hari, Elena membaca puluhan buku dan menulis catatan.

Persetan dengan mati lampu, ujarnya sambil menggertakkan gigi. Aku akan menciptakan energi alternatif!

Setelah seminggu berlalu, dengan catatan dalam beberapa buku, Elena pun maju. Ia memulai eksperimen untuk mencapai tujuannya dengan diam-diam. Elena menyulam jaring raksasa setelah seharian berada di dalam laboratorium kecilnya. Ia lupa makan, lupa merawat diri. Hingga pada suatu hari, Elena akhirnya menemukan formula untuk energi alternatifnya. Ia berlari keliling kampung, memeluk setiap orang, dan makan begitu banyaknya.

Hari itu pun datang ketika Elena harus pergi ke ibu kota. Di dalam ranselnya terlipat jaring besar dan botol-botol formula. Ia sudah kembali cantik dan menawan, meski jauh lebih kurus. Setengah perjalanan, ia bertemu seorang pemuda yang sedang memancing di danau. Pemuda itu bermata biru dan duduk di dekat keranjang ikan. Tak wangi, tapi punya lesung pipi. Melihat Elena yang keberatan dengan ranselnya, pemuda itu langsung menawarkan bantuan. Bersama-sama mereka menuju kota.

Pekerjaan Elena lebih mudah berkat bantuan si pemuda. Mereka memasang jaring di sekitar gedung perusahaan lampu dan ibu kota. Sementara, si pemuda menyelesaikan jaring terakhir, Elena masuk ke kota dan menebar formula. Setelah itu, ia dan si pemuda menunggu sembari menikmati ikan bakar.

Si pemuda bercerita kalau berasal dari kota. Hari ini ulang tahun adik dan ia berjanji membawakan ikan. Namun, karena Elena membuat hatinya berdesir, si pemuda lebih memilih menghabiskan waktu bersama Elena. Siapa tahu lain waktu mereka tak akan berjumpa.

Elena tertegun mendengar apa yang tertutur.

Usai mengisi perut, Elena mengajak si pemuda kembali masuk ke ibukota. Keduanya terpana di gerbang, menatap betapa gemerlap tempat itu. Begitu memesona dan mengagumkan. Elena merasa tersihir oleh apa yang ditangkap matanya. Terlebih, kini ada si pemuda di sampingnya. Tangan mereka saling genggam dengan mata yang berpendar.

Elena meminta si pemuda membantunya mengemas jaring di seluruh penjuru kota. Mereka kembali ke distrik tanpa harus menempuh jalan yang gelap. Sesampainya Elena di distriknya yang mati lampu, ia langsung membuka jaring. Membiarkan seluruh kunang-kunang di dalam jaring untuk terbang dan menerangi seluruh distrik.

Orang-orang pun bersuka cita. Si pemuda jatuh cinta. Ia dan Elena hidup bahagia. Tanpa Elena sadar jika virus yang mengubah manusia menjadi kunang-kunang terus terbang bersama angin. Mungkin, suatu hari akan tiba di distriknya.

Legenda

Dia pernah memelihara fantasi tentang naga emas yang membelah angkasa. Sayapnya berkelepak mengirimkan angin kencang. Taringnya berderak, geliginya yang tajam berkilauan di bawah cahaya matahari. Suaranya membahana serupa guruh.

Naga. Seperti itulah mereka menurut cerita kakek.

Van Zan berdiri di atas mobilnya yang barusan berhenti. Suara gaduh iringan kendaraan dan manusia-manusia di dalamnya terdengar. Dia mengangkat tangan, menyalang ke cakrawala. Langit nyaris tak pernah kembali merona biru. Kelabu. Sebab asap. Sebab abu. (lebih…)