Édith Piaf

Akhirnya kau pergi dan aku menemukanmu di mana-mana. Di udara dingin yang menyusup di bawah pintu atau di baris puisi-puisi lama yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa jauh.*

**

Ada Edith Piaf malam ini, mengusir lengang dan meredam dengung nyamuk. Lampu putih terang tergantung tepat di atas meja kayu persegi. Tiga mug berbeda corak duduk bersama. Didekap tangan milik tiga orang yang kadang diam, kadang bicara.

Lama Rangga menunggu momen ini. Hanya bersama Cinta. Maura yang menunjukkan tempat ini diam-diam. Jangan bilang kepada yang lain, Cinta sedang ingin sembunyi. Kejutkan dia. Kini, Rangga sendiri yang terhenyak. Rupanya Maura lupa memberitahunya bahwa Cinta tidak sendiri.

“Dalam rangka apa pulang kemari?”

Pertanyaan pertama setelah serombongan basa-basi justru bukan datang dari Cinta.

“Salah satu penerbit lokal ingin menerjemahkan White Noise. Mereka menyediakan transportasi dan akomodasi untuk bicara dengan saya langsung.”

Lelaki berkulit bersih itu mengangguk dan tersenyum ramah. “Nggak kaget pulang ke sini setelah… berapa lama? Saya nggak pernah jauh-jauh dari rumah. Besar di Cipanas. Sekolah di Bandung dan Bogor. Sekarang tinggal di Cibodas. Bisa dibilang, saya premannya Puncak Pass.”

Rangga tertawa kecil. “Empat belas tahun. Ya, Cinta?” Tatapannya berpindah pada perempuan manis berambut hitam tebal. Parasnya polos tanpa riasan.

“Empat belas tahun. Lama juga ya?” Perempuan itu berkata pelan. Kebiasaan menggigit bibirnya masih tertinggal.

Pandangan Rangga kembali pada permukaan cokelat panas. Edith Piaf bernyanyi. Melengking-lengking merdu. Sejenak dia merasa dikembalikan ke kedai kopi langganan dekat Washington Square Park. Empat hari lagi, dia sudah akan bisa duduk di taman itu lagi. Membaca. Menulis puisi. Melamunkan Cinta.

Ternyata perjumpaan ini lebih sulit dibanding ketika harus mewawancarai langsung Cormac McCarthy. Lebih berat dibanding membolos kelas dan berkendara tiga jam untuk mengejar sesi book tour David Foster Wallace. Lebih menantang dibanding memburu keberadaan Thomas Pynchon.

Cinta tersenyum kaku. Canggung. Jendela kecil yang terbuka berderak oleh angin. Beberapa laron terbang masuk. Ganjil lagi. Lalu… tidak, Rangga tidak bisa membiarkan situasi seperti ini. Dia berdeham. “Kamu ini,” katanya, memiringkan badannya pada lelaki yang duduk di sisi kanannya, “kamu yang berkali-kali menanyakan pertanyaan yang sama pada Cinta? Benar?” Dia meneguk sedikit cokelatnya. “Video dari talkshow-mu, Cinta, banyak diunggah di YouTube.”

“Iya, itu saya,” jawab lelaki itu sambil mengupas kedelai rebus.

“Itu cara kami berkenalan….” Cinta menambahi. Dia dan lelaki itu bertukar pandangan. Bibir mereka rapat. Mata mereka bicara banyak.

“Sangat menarik.” Rangga tersenyum. Basa-basi lagi. Pertanyan yang diajukan lelaki itu pada beberapa kali talkshow sangat mengusik Rangga. Seluruhnya sama. Jawaban-jawaban Cinta yang meski selalu berbeda, Rangga kira adalah pertanda. Setelah empat belas tahun. Setelah ratusan purnama. Dia harus kembali.

“Aku bukan pembaca buku Cinta. Aku hanya membaca satu dari tujuh judul….”

“Jadi…,” Rangga menyela si lelaki asing. Ingin mengajukan sesuatu, tapi itu kedengaran bodoh. Dia lama menjadi jurnalis. Bertahun-tahun menulis. Dia bisa menarik kesimpulan.

Seharusnya dia tidak usah menuruti saran Alya untuk datang ke sini. Juga, menuruti kehendak hatinya yang melangut pada Cinta.

Dan dering telepon.

“Kalian lanjutkan saja reuninya.” Lelaki itu itu berdiri. Bicara cepat pada ponselnya. Berlalu dari dapur.

“Cinta, saya ingin mengajak kamu datang ke pernikahan Mamet dan Karmen.”

Gadis itu mengangkat wajah. Halus dan anggun. Rangga kehilangan kata-kata sejenak. Di depannya ada mata yang sama dengan yang pernah mendelik padanya empat belas tahun lalu di koridor sekolah dan lapangan basket.

“Kamu masih menulis puisi?”

“Dia membantuku.”

Bicara mereka bersamaan. Pandangan mereka bertemu. Lebih lama dibanding tadi.

“Menulis puisi?” sahut Rangga.

Cinta menggeleng. “Untuk melupakanmu.”

Bagaimana jika penantianmu berakhir dan… dia yang lama kamu tunggu akhirnya kembali lagi?” Rangga mengulang pertanyaan yang sudah dia dengar berkali-kali. Pertanyaan yang biasanya milik lelaki tadi. Dari variasi jawaban Cinta, hanya satu yang tersangkut di otak Rangga.

Menunggu. Aku masih menunggu dia untuk datang kembali.

“Saya ingin mengajak kamu datang ke pernikahan Mamet dan Karmen, Cinta.”

“Bertahun-tahun saya nunggu kamu, Rangga.”

“Saya tahu.” Rangga menelan ludah. “Apa yang saya lakukan ke kamu itu keterlaluan.”

“Apa yang kamu lakukan ke saya itu… jahat.”

Vokal Edith Piaf kini terasa meliris. Menyayat hati Rangga. Bahasa Prancis ada di luar jangkauannya. Walau begitu musik dan cara Piaf menyanyikannya, sama seperti perasaannya sekarang. Terperas pedih. Hanya ada pahit.

Sebelum sampai di sini, Rangga sangat yakin dia akan bahagia melihat Cinta lagi.

“Empat belas tahun, Rangga… saya mencoba apa pun untuk datang padamu. Saya mengusahakan beasiswa ke New York dan US, tapi selalu gagal. Pada kesempatan lain, ketika saya sudah membangun rencana paling akurat untuk datang ke tempatmu tujuh tahun lalu… sehari sebelum keberangkatan, Ayah saya meninggal.

“Saya menyimpan email-email kamu. Pesan-pesan singkat. Puisi-puisi yang dulu. Saya menelusuri jejak kamu di dunia maya… saya nggak bisa melupakan kamu. Kamu yang sesekali datang, seringkali menghilang.”

Rangga diam makin dalam. Pandangannya tak bisa lepas dari paras ayu itu. Tahun dan tahun berlalu, kecantikannya makin bersinar. Ingin sekali Rangga meneriakkan bahwa setiap langkahnya menyusuri Manhattan, bayangan Cinta tak pernah pudar.

“Sedangkan kamu? Apa yang kamu lakukan, Rangga? Kamu sembunyi dan abai terhadap saya.”

“Nggak, Cinta.” Rangga menyangkal. Tangannya menyenggol telinga mug hingga sedikit isinya meluap ke meja. Begitu banyak alasan. Finansial. Peristiwa 9/11 membuat kehidupannya dan ayahnya lebih sulit. Dan ayahnya… dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang bergelut dengan kanker lima tahun terakhir. Tidak satupun dari alasan itu terkatakan. Semua alasan itu tak lagi berarti. “Saya… nggak sembunyi. Saya kira, setelah saya pergi, kamu akan mampu. Kamu luar biasa, kamu supel, banyak orang yang… bisa menggantikan saya. Seseorang yang bisa membuat dirinya benar-benar nyata ada di samping kamu.”

Mereka memandang. Mereka berdiam.

Lelaki tadi kembali ke tengah mereka.

“Aku sudah bertunangan dengan Saddam, Rangga.”

Untuk kali ini, Rangga ingin membekap Edith Piaf agar berhenti bernyanyi. Namun, sosok penyanyi legendaris itu bahkan tak ada di sini. Hanya laptop yang terbuka di tengah meja. Layarnya menghadap pada Cinta.

Edith Piaf tidak menyisakan sedetik pun ada hening di antara mereka.

Cinta menggenggam jemari lelaki itu. Namanya Saddam.

“Selamat untuk kalian.”

“Ya, Rangga.” Cinta melebarkan senyuman. “Ini masih rahasia.”

“Rahasia. Ya. Rahasia,” Saddam menarik tangan Cinta. Mengecupnya. “Kami akan menikah lima bulan lagi.”

“Ini seromantis kisah-kisah dalam novelmu, Cinta.” Rangga memuji dengan hati nyeri.

“Semua orang mengidamkan happy ending, Rangga. Apalagi untuk sebuah kisah cinta.”

**

‘Lihat tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.’ – aan mansyur

**

Kali ini Cinta menulis mengenai seorang gadis yang bertualang sendiri ke Paris. Perjalanannya menyenangkan hingga suatu pagi dia terbangun dari tidurnya di sebuah sel kecil. Dia bukan dia. Dia menjadi orang lain. Dia didakwa menghancurkan negara itu. Dia dituduh inses. Dia jatuh cinta. Kesempatannya kembali harus ditukar dengan cinta, atau sebaliknya.

Cinta memilih Edith Piaf sebagai pengiring sejak merancang cerita itu. Dengan mudah cerita itu lolos, ditulis, dikuliti editor, dan kini Cinta sedang memolesnya kembali. Tiga novel terakhir, semua mendapatkan perawatan khusus di tempat ini, kaki Gunung Gede. Di sebuah villa kecil rekomendasi dari Sisil. Sejak saat itu, Cinta resmi berkenalan dengan Saddam, sang pemilik.

Dia sempat mengira Sisil dan yang lain masih berupaya—masalah satu orang jadi masalah semua. Rangga adalah masalah Cinta. Selama ini, keempat sahabatnya yang terus menjaga hubungan mereka tidak lelah mencarikan penawar. Cinta mengira Saddam salah satu dari puluhan laki-laki yang pernah mereka sodorkan padanya.

Mereka tidak pernah benar-benar dekat. Namun, Cinta selalu mengundang Saddam sebagai tamu di pesta peluncuran novelnya. Mereka bicara. Sesekali makan malam bersama. Mereka tidak banyak bertukar detail-detail hidup satu sama lain. Anehnya, Cinta bisa bebas bicara padanya mengenai Rangga dan penantian bertahun-tahunnya.

Ratusan purnama… ratusan purnama… ratusan omong kosong.

Ketika sahabat-sahabatnya sudah berhenti membujuknya untuk melupakan Rangga. Saddam menawarkan cara yang lebih frontal—ceritakan itu pada semua orang, Cinta. Bagikan rasa sakit itu. Senyata-nyatanya.

Dari situlah, semua pertanyaan itu dimulai.

“Cinta, saya pulang dulu.”

Cinta terkesiap. Lampu ruangan berkedip-kedip sejenak. Dia mendongak. Beberapa laron berkerumun. Salah satunya terbang rendah, berakhir tercebur di cokelat Rangga. Laron itu menggeliat-geliat, berusaha terbang, sementara sayapnya mengambang lepas.

Seperti itulah dia selama ini. Saat masih berkubang dalam kenangan-kenangan akan Rangga. Mudah untuk melepaskan. Tapi melupakan adalah perkara yang lebih pelik. Tangan Cinta terkepal di bawah meja. Rangga dan Saddam masih bicara. Telinganya hanya menangkap patah-patah.

Hari itu, ketika dia memukuli kaca, menangis, meraung, melihat punggung Rangga yang makin menjauh… semua itu masih terasa jelas. Seperti kemarin. Saya sangat sayang kamu. Dan hari ini, bahkan Rangga tak banyak berubah. Semakin matang. Pandangan masih setajam elang. Parasnya bersih oleh udara subtropis. Rambut ikalnya bergulung berantakan.

Rasa rindu ini, mungkin hanya ilusi.

“Kamu bisa menginap tempat saya, Rangga. Lalu kembali ke Jakarta besok pagi. Ini akhir pekan, jalan di sekitar sini bisa menyiksa jiwa raga,” saran Saddam.

“Terima kasih, Saddam. Saya tidak ingin merepotkan.” Rangga berdiri dan meraih kunci mobil di meja.

“Kami nggak bisa memaksa.” Cinta menggamit Saddam. Detak jantungnya berkejaran.  

Bertiga mereka menuju pintu depan. Langkah-langkah mereka diiringi Hymne A L’amour. Cinta mengeja liriknya dalam hati. Genggamannya pada Saddam mengencang.

“Jangan lupa kirimi saya undangan,” ujar Rangga sebelum berpisah.

Cahaya mata itu serupa dengan empat belas tahun lalu. Cinta bisa menghentikan ini. Kali ini, dia bisa melakukannya.

“Ke New York?” Saddam menyahut.

Membayangkan kota itu membuat Cinta menggigil. Angin malam yang dingin menerpanya, melipatkangandakan rasa itu.

“Ya. New York.” Rangga tersenyum samar. “Saya punya waktu tinggal agak lama, tapi barusan saya terima email harus segera kembali setelah urusan saya di sini selesai.”

Begitu mudah. Begitu mudah Rangga membebaskannya. Seperti dulu. Pergi dan berlalu tanpa mencoba mempertahankan apa pun. Cinta merasakan ada yang runtuh dalam hatinya. Keputusannya adalah benar. Dia melakukan sesuatu yang tepat.

Lelaki itu melambai dan masuk ke dalam mobil. Cinta tergugu. Diam membisu hingga tempat itu kembali sunyi sepi.

“Kenapa kamu melakukan itu? Sekarang kamu bukan hanya jago nulis puisi, tapi juga jago akting.”

Cinta membebaskan tangan Saddam.

“Dia datang untuk kamu.”

“Dan pergi begitu saja?” Cinta bersedekap dan membelakangi Saddam. Dari halaman teras rumah, dia bisa melihat kerlap-kerlip lampu dari sisi lain kaki gunung. “Dia memang tidak pernah mencoba memperjuangkan aku. Aku lebih baik tanpa dia, Saddam.”

“Kalau kamu sudah yakin, aku tidak akan membahas lagi.”

“Terima kasih untuk aktingmu tadi….”

“Bukan akting.”

Cinta membalikkan tubuh dengan cepat. Degup jantungnya malah makin memburu. Di bawah lampu yang dikerubungi laron, pandangan Cinta terkunci pada satu titik. Pada sepasang mata yang meneduhkan.

Mereka tidak pernah benar-benar dekat, tapi….

Pertanda. Intuisi. Kata hati. Cinta percaya itu.

“Aku juga tidak berakting.” Sekian lama menimbang, Cinta berani mengatakannya. Kedatangan Rangga ternyata memberinya keberanian lain.

Saddam agak kaget. “Lima bulan lagi aku memang akan menikah. Tapi bukan denganmu, Cinta. Kalau kamu menyatakan itu setahun lalu, aku akan sangat senang.”

“Sial.” Cinta tertawa. “Kamu tidak memberitahuku….”

“Rahasia, Cinta. Rahasia.” Saddam tersenyum lebar dan menepuk bahu Cinta.

“Cinta bisa datang terlambat.”

“Cinta yang kukenal selalu tepat waktu.” Saddam turun dari teras, lalu berhenti sejenak. “Kamu masih mencintainya, jadi aku yang pergi. Dan ini sudah malam. Memang lebih baik aku pergi. Dan, ah ya, tadi Ranggamu menjatuhkan ini.”

Selembar potret yang terlipat.

Edith Piaf masih bernyanyi. Tinggal Cinta seorang diri dan bersama sebuah puisi.

**

Akhirnya kau hilang. Kau meninggalkan aku—dan kenangan kini satu-satunya masa depan yang tersisa.*

Bagaimana wujud penantian belasan tahun? Apakah cinta akan tetap sama?

Cinta pun mempertanyakan itu. Menggalinya dalam-dalam. Menjadikannya kisah dalam novel-novelnya. Digemari oleh remaja-remaja yang bimbang, orang-orang dewasa yang menginginkan bacaan ringan di akhir pekan. Disuka oleh orang-orang yang ingin mendapatkan dukungan untuk keputusan mereka menanti yang tercinta. Dibaca oleh mereka yang butuh wejangan dan pembenaran bahwa menunggu adalah sesuatu yang mulia.

Hampir saja, Cinta terseret arus yang sama. Hampir saja, dia merupa menjadi karakter-karakter yang pernah ditulisnya. Untuk memilih menunggu Rangga. Namun pilihan itu berakhir pada suatu malam sebelum Alya berangkat ke Washington D.C. untuk melanjutkan S3. Move on. Move on.

Masa-masa setelah itu hidup Cinta begitu riuh. Sang Satrawan. Sang Pengusaha Ritel. Sang Juru Masak. Sang Arsitek. Sang CEO. Sang Kandidat PhD.. Sang Dosen Fisika. Sang Sutradara. Sang Pemimpin Redaksi. Sang Aktor. Sosok-sosok yang diterjemahkan menjadi bagian dari cerita-ceritanya. Namun tidak satupun yang bisa menggeser Rangga.

Dan muncul Saddam. Suatu siang, di bawah pohon mangga depan villa ini. Villa di kaki Gunung Gede rekomendasi dari Milly ini ternyata cocok dengan selera Cinta. Bangunan putih sederhana dengan biru langit pada pintu, kusen, jendela, atap. Sekilas mengingatkannya pada Santorini. Tiga novel terakhirnya mendapatkan perawatan di sini, dibantu si pemilik villa sendiri, Saddam.

Ketika sahabat-sahabatnya sudah berhenti membujuknya untuk melupakan Rangga. Saddam menawarkan cara yang lebih frontal—ceritakan itu pada semua orang, Cinta. Bagikan rasa sakit itu. Senyata-nyatanya. Kamu nggak pantas sakit sendirian.

Berhasil. Orang-orang bersimpati. Bukunya terjual lebih laris. Dia mendorong beban bernama Rangga menjauh.

Siapa sangka malam ini dia menerima kejutan. Kejutan yang menyakitkan.

“Nggak, Cinta. Saya… nggak sembunyi. Saya nggak bisa melupakan kamu. Saya kira, setelah saya pergi kamu akan menjalani hidup tanpa saya. Kamu luar biasa, kamu supel, banyak orang yang… bisa menggantikan saya. Seseorang yang bisa membuat dirinya benar-benar nyata ada di samping kamu.”

Hatinya gemetar. Pandangannya nanar. Seekor laron jatuh di antara kacang dan kedelai rebus.

Dia ingin sekali menanyakan itu—mengapa kamu pulang. Namun pertanyaan itu selalu tertelan lagi. Mengapa baru sekarang kamu datang.

Ratusan purnama… ratusan purnama… ratusan omong kosong.

Seretan sendal jepit itu mendekat. Saddam kembali dengan senyum semringah.

“Aku sudah bertunangan dengan Saddam, Rangga.” Cinta tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Sejenak, seakan di sini hanya tinggal Edith Piaf. Detik-detik itu bergulir begitu lama. Cinta menggerakkan tangan perlahan, meraih jari-jari Saddam. Mendekapnya.

Lelaki itu tersenyum. Menatap Cinta dengan lembut. Membawa tangan Cinta hingga ke bibirnya.

Jantung Cinta berdetak kencang. Dan segala setelah itu terasa kabur. Nyanyian Edith Piaf hanya samar-samar.

Lelaki di depannya agak tertunduk. Sesekali matanya menyorot tajam. Sama seperti pertemuan pertama mereka di perpustakaan sekolah. Rambutnya masih seikal dulu. Serupa selayaknya kencan pertama mereka ke Kwitang. Sekarang dia kelihatan tampak lebih terawat atau memang hanya pengaruh udara subtropis baik untuknya.

Cinta tahu banyak tentang Rangga. Dunia sekarang mengizinkan untuk itu. Foto-foto dan puisi Rangga adalah menu sarapannya. Buku-buku yang sudah ditulis Rangga telah dilahap Cinta berkali-kali. Apakah itu cinta? Atau hanya obsesi? Atau nostalgia?

“Cinta, saya pulang dulu.”

Cinta terkesiap. Lampu ruangan berkedip-kedip sejenak. Dia mendongak. Beberapa laron berkerumun. Salah satunya terbang rendah, berakhir tercebur di cokelat Rangga. Laron itu menggeliat-geliat, berusaha terbang, sementara sayapnya mengambang lepas.

“Kamu bisa menginap di rumah saya, Rangga. Agak ke atas sedikit, lima menit jalan kaki. Lalu kembali ke Jakarta besok pagi. Ini akhir pekan, jalan di sekitar sini bisa menyiksa jiwa raga,” saran Saddam.

“Terima kasih, Saddam. Saya tidak ingin merepotkan.” Rangga berdiri dan meraih kunci mobil di meja.

Cinta menggamit Saddam. Detak jantungnya berkejaran. Bertiga mereka menuju pintu depan. Langkah-langkah mereka diiringi Hymne A L’amour. Cinta mengeja liriknya dalam hati. Genggamannya pada Saddam mengencang.

“Jangan lupa kirimi saya undangan,” ujar Rangga sebelum berpisah.

Cahaya mata itu serupa dengan empat belas tahun lalu. Cinta bisa menghentikan ini. Kali ini, dia bisa melakukannya.

“Ke New York?” Saddam menyahut.

Membayangkan kota itu membuat Cinta menggigil. Angin malam yang dingin menerpanya, melipatkangandakan rasa itu.

“Ya. New York.” Rangga tersenyum samar. “Saya punya waktu tinggal agak lama, tapi barusan saya terima email harus segera kembali setelah urusan saya di sini selesai.”

Begitu mudah. Begitu mudah Rangga membebaskannya. Seperti dulu. Pergi dan berlalu tanpa mencoba mempertahankan apa pun. Cinta merasakan ada yang runtuh dalam hatinya. Keputusannya adalah benar. Dia melakukan sesuatu yang tepat.

Lelaki itu melambai dan masuk ke dalam mobil. Cinta tergugu. Diam membisu hingga tempat itu kembali sunyi sepi.

“Kenapa kamu melakukan itu? Sekarang kamu bukan hanya jago nulis puisi, tapi juga jago akting.”

Cinta membebaskan tangan Saddam.

“Dia datang untuk kamu.”

“Dan pergi begitu saja?” Cinta bersedekap dan membelakangi Saddam. Dari halaman teras rumah, dia bisa melihat kerlap-kerlip lampu dari sisi lain kaki gunung. “Dia memang tidak pernah mencoba memperjuangkan aku. Aku lebih baik tanpa dia, Saddam.”

“Kalau kamu sudah yakin, aku tidak akan membahas lagi.”

“Terima kasih untuk aktingmu tadi….”

“Bukan akting.”

Cinta membalikkan tubuh dengan cepat. Degup jantungnya malah makin memburu. Di bawah lampu yang dikerubungi laron, pandangan Cinta terkunci pada satu titik. Pada sepasang mata yang meneduhkan.

Mereka tidak pernah benar-benar dekat, tapi….

Pertanda. Intuisi. Kata hati. Cinta percaya itu.

“Aku juga tidak berakting.” Sekian lama menimbang, Cinta berani mengatakannya. Kedatangan Rangga ternyata memberinya keberanian lain.

Saddam agak kaget. “Lima bulan lagi aku memang akan menikah. Tapi bukan denganmu, Cinta. Kalau kamu menyatakan itu setahun lalu, aku akan sangat senang.”

“Sial.” Cinta tertawa. “Kamu tidak memberitahuku….”

“Rahasia, Cinta. Rahasia.” Saddam tersenyum lebar dan menepuk bahu Cinta.

“Cinta bisa datang terlambat.”

“Cinta yang kukenal selalu tepat waktu.” Saddam turun dari teras, lalu berhenti sejenak di samping sepedanya. “Kamu masih mencintainya, jadi aku yang pergi. Ini sudah malam. Memang lebih baik aku pergi. Dan, ah ya, tadi Ranggamu menjatuhkan ini.”

Selembar potret yang terlipat. New York yang penuh salju.

Edith Piaf masih bernyanyi. Tinggal Cinta seorang diri dan bersama sebuah puisi.

**

Akhirnya kau hilang. Kau meninggalkan aku—dan kenangan kini satu-satunya masa depan yang tersisa.*

8 April 2016

Fanfiksi Cinta dan Rangga ini pernah kuposting di Storial.co untuk event rilis film Ada Apa Dengan Cinta 2. Dulu kujuduli Cinta Telat Waktu. Lagi menyusuri tulisan lama dan kebaca lagi, ternyata aku masih suka banget. Aku posting ulang di sini. Kutipan bertanda (*) adalah puisi-puisi Aan Mansyur dari buku Tidak Ada New York Hari ini.

Tinggalkan komentar