Berburu Pangeran

richard madden prince charming
Richard Madden sebagai Prince Charming di Cinderella 2015. Cakepnyaaaaaa.

Malam lalu, ketika berbaring dalam kegelapan, pikiran ini merasukiku. Selama empat bulan terakhir, aku mengerjakan cerita tentang keluarga kerajaan dan bangsawan. Lalu, beberapa waktu lalu, aku membaca cerita tentang pangeran gitu yang kabur dari kerajaannya karena menolak nggg dijodohkan. Mungkin itu berlanjut jadi cerita yang bagus, tapi jujur saja bikin aku mengernyitkan dahi. Karena, bagaimana seorang pangeran nggak bisa menghadapi masalah seperti itu? Apalagi, kalau perjodohan itu berkaitan dan beralasan politis/ekonomi, bisa saja si keluarga/kerajaan putri yang akan dijodohkan merasa dilecehkan harga dirinya. Dan apa… perang atau banyak implikasi yang kurang baik lainnya.

Bagi kamu yang suka sejarah atau nonton miniseri bersetting masa-masa kerajaan gitu, pasti tahu betapa dramanya menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Bersaing mendapatkan takhta. Kehidupan yang nggak sebebas merpati. Harus mau dijodohkan atas nama stabilitas politik dan perjanjian ekonomi. Dan bla bla bla lainnya.

Jadi, dari apa yang aku kumpulkan selama beberapa bulan terakhir, aku pengin sekali menulis tentang…, kalau kamu menulis kisah tentang cinta bersama pangeran–aku akan memberi tips. Sehingga ceritamu lebih berlapis, lebih terasa realistis (sesuaikan dengan periode). Tapi, sesuai judulnya, ini berburu pangeran, dan nggak bisa dibalik. (lebih…)

Akur kembali dengan naskah yang lama ditinggalkan

Seringkali setelah menyelesaikan satu naskah, masih ada jalan yang panjang untuk diterbitkan. Kadang-kadang harus menunggu hingga beberapa bulan atau tahun. Tidak jarang ketika harus kembali lagi ke naskah untuk proses revisi setelah sekian lama, rasanya sulit sekali akrab lagi.

Bukan hanya jeda ketika menanti naskah diproses menjadi buku, jeda di tengah proses penulisan pun bisa berefek menjauhkan. Sehari menjadi seminggu, seminggu menjadi sebulan, sebulan menjadi tiga bulan, akhirnya setahun naskah itu terkatung-katung tanpa disentuh. Sewaktu harus kembali untuk mengerjakan, ada perasaan canggung, seperti halnya dua teman yang lama tak jumpa. Kehilangan perasaan senasib, sepenanggungan yang dulu dijalani bersama. Kehilangan kesenangan, antusias, dan rasa jatuh cinta pada karakter-karakter serta ceritanya.

Aku sendiri pernah mengalami hal itu, lebih tepatnya sering. Pengalamanku saat mengerjakan novel Time After Time, dari menulis draf satu hingga terbit memakan waktu hampir dua tahun. Di antara jedanya aku sempat mengerjakan naskah-naskah lain dan meski sempat kabur-kabur dari Time After Time, aku selalu mengerahkan diri untuk kembali. Tidak mudah memang mengembalikan momen yang sama ketika mengerjakan di awal-awal setelah lama meninggalkan, tapi kewajiban yang harus dipenuhi membuat aku tidak menyerah untuk mencoba akur kembali. #aseeek (lebih…)

Menyusun Plot Menggunakan ‘Three Act Structure’

Banyak cara menyusun plot, terakhir kali menulis naskah aku mencoba cara ini, menggunakan metode ‘three act structure’ yang umumnya dipakai untuk menulis skenario. Awalnya sih karena aku suka nonton film dan baca-baca skenario. Menarik banget mengamati gimana screenwriter mengatur tempo cerita sembari menaikkan ketegangan dari satu adegan ke adegan lainnya dan ternyata itu ada rumusnya, contohnya ya metode three act structure ini. Novel yang menggunakan three act structure ini contohnya trilogi The Hunger Games. Pas banget tiga buku dibagi jadi bagiannya masing-masing.

Menggunakan three act structure bisa mempermudah kamu mengatur titik-titik di mana harus nanjak lebih tinggi alias ‘major plot point’. Nggak sulit menggunakan teknik ini. Yang dibutuhkan kamu udah punya tema, karakter, awal serta akhir ceritamu. Meski awal dan akhir ini nanti bisa diganti atau gimana. Intinya kamu tahu bagaimana ceritamu mengalir.   (lebih…)

[Tip] Menulis Deskripsi: Percaya

Semalam ketika aku sedang baca sebuah naskah skenario, tiba-tiba terbersit pertanyaan di dalam kepala? Apa yang bikin atau menjadi tolak ukur sebuah skenario itu baik/bagus? Awalnya, aku mau bertanya kepada sosok yang lebih mumpuni di bidang ini–aku masih baca-baca karena suka aja, belum sampai tahap mendalami serius. Namun, kemudian urung, karena skenario yang kubaca masih sedikit. Kasian yang menjelaskan nantinya. Melacak skenario yang baik dengan standar ‘awards’ kan nggak sulit, akhirnya aku pun melakukan pencarian sendiri, termasuk baca-baca beberapa artikel.

Pada salah satu artikel yang kutemukan di medium, disebut ada satu komponen penting yang tersembunyi dalam skenario, yaitu trust atau kepercayaan. Dalam artikel tersebut ada tiga, berupa trust the director, trust the actor, and trust the reader. Nah, bagian yang terakhir itu yang menohok, terutama dalam hal menulis fiksi, seperti cerita pendek dan novel. Selama ini, sering banyak yang bertanya kepadaku, ‘gimana sih bikin dialog yang baik?’ Atau sekadar komentar, ‘aku memang lemah bikin deskripsi’. (lebih…)

Menulis Fiksi berdasarkan Setting

Pada suatu waktu kamu pasti pernah punya keinginan: ‘aku harus nulis tentang tempat ini. bikin cerita di sini! pokoknya harus!’. Atau tiba-tiba kamu ditawari untuk nulis dengan latar tempat atau event tertentu. Paling mungkin ketika ada kompetisi menulis berdasarkan tempat tertentu.

Kelihatannya memang mudah karena setting memang bagian yang tak perpisahkan dari cerita. Akan tetapi, gimana biar setting itu jadi sesuatu yang remarkable? Sesuatu pada setting yang bikin ceritanya begulir dan begitu erat? Dan kalau diminta menulis fiksi berdasarkan setting, sudah tentu sudah jadi tugasmu untuk membuat hal itu sebagai salah satu komponen yang istimewa dan punya pengaruh kuat ke cerita, bukan sekadar tempelan aja. (lebih…)

Outline, perlu nggak sih?

Semalem aku ngobrol sama temen yang kebingungan untuk bikin outline. Dia baru memulai untuk bikin novel. Jadi, sebenarnya outline perlu nggak sih?

Tentu aja, perlu. Akan tetapi, kalau memang belum terbiasa dengan outline, rasanya nggak perlu dipaksain untuk membuatnya. Nulis aja sesuai kebiasaanmu, seenaknya, dan senyamannya. Karena untuk tahap awal nulis novel yang paling penting adalah menyelesaikannya. Itu bisa menjadi motivasi nulis draf-draf yang selanjutnya. (lebih…)

Menulis Novelisasi

Bareng keluarnya novelisasi ‘7 Misi Rahasia Sophie’ ini aku dapat lumayan banyak pertanyaan tentang gimana caranya mengadaptasi skenario jadi novel. Pertama-tama, ternyata belum banyak yang familier dengan bentuk buku yang seperti ini ya. Padahal ini udah lumrah banget, lewat penerbit GagasMedia (yang nerbitin 7MRS) aja udah banyak adaptasi dari skenario film jadi buku, satu yang aku masih punya adalah Brownies yang diadaptasi oleh Fira Basuki.

Di luar, konsep buku seperti ini juga udah sering ditemukan. Biasanya film-film yang sukses dan dapat banyak penonton bakal ngeluarin berjenis-jenis tie-in, salah satunya bentuk novelisasi ini, contohnya kayak Star Trek Into Darkness (2013) yang diadaptasi oleh Alan Dean Foster, dan Pacific Rim (2013) yang diadaptasi oleh Alex Irvine. Biasanya sih novel adaptasi ini terbitnya nggak akan jauh-jauh dari filmnya terbit.

Novel-novel adaptasi dari skenario film. Brownies (2005) dan Star Trek Into Darkness (2013). Foto: koleksi pribadi.
Novel-novel adaptasi dari skenario film. Brownies (2005) dan Star Trek Into Darkness (2013). Foto: koleksi pribadi.

(lebih…)