Seorang Laki-Laki Bersepatu Futsal

Aku terpekur seorang diri di bawah pohon kamboja berbunga merah jambu. Di depanku berdiri sebuah rumah dengan arsitektur minimalis. Dindingnya berwarna putih gading dipadu dengan aksen kayu dan batu alam. Angin berembus pelan menggoyangkan rambutku yang terikat dan kini berantakan. Di tanganku ada sebuah kunci, beberapa meter di depanku kunci itu akan berfungsi semestinya.

Orange juice dalam botolku sudah habis kuteguk. Rasa haus dan penasaran masih memenuhi kerongkonganku. Namun bukan sekedar air untuk mengusir itu. Aku butuh kehadiranmu. Kalimat darimu terngiang dalam telingaku.

“Datang ya,” aku bicara kepadamu tanpa basa-basi.

Suara napasmu yang menderu-deru tertangkap oleh pendengaranku. Aku bahkan tidak menanyakan apa yang kamu sedang lakukan sekarang. Sudah beberala jam berlalu sejak pertemuan kita pagi tadi. Aku rasa aku tidak lagi mendegar hiruk pikuk Kota Tua di belakang,u, justru sorak-sorai yang menggema.

“Datang kan?” tanyaku sekali lagi, “Lentera….”

“Baiklah,” sahutnya cepat dan telepon itu terputus. “Kita ketemu di Taman Koleksi.”

Sambungan itu terputus. Aku berjalan mundur dan menjauhi rumah itu. Rumah yang kutahu dari denah kesebelas yang kamu temukan di moleskine ayahku. Denah yang dijuduli, ‘Untuk Dhanissa’. Oleh karena itu, aku ingin memberimu penghormatan untuk membuka pintu rumah itu yang pertama kalinya bersamamu.

Langit berwarna abu-abu pekat ketika aku tiba di Taman Koleksi. Terletak di halaman depan kampus IPB Baranangsiang dan di samping Mall Botani Square, menjadikan taman ini tidak hanya menjadi monopoli mahasiswa. Pohon-pohon besar yang menaungi menjadikan tempat ini berudara sejuk.

Hujan turun tak lama kemudian. Awalnya hanya berupa rintik lama-lama rintik itu bersatu dan menjadi butiran. Taman koleksi kini kosong, hanya aku sendiri dengan payung jinggaku. Rasa dingin ini membuatku kelu, apakah kamu akan benar-benar datang?

Untukmu aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah seorang perempuan yang berani mencuri ciumanmu di momen kembang api Juli lalu. Betapa berani aku memintamu datang jauh dari Jakarta menuju Bogor hanya untuk menemuiku?

Aku berani karena aku mengharapkanmu, mencintaimu.

Tampias air hujan dari ujung payung sudah membasahi kemejaku. Lenganku basah, begitu pula sepatu dan ujung jeansku. Akan teti aku tetap menunggumu.

Di antara derai hujan aku melihat seseorang berjalan ke arah Taman Koleksi. Sosok itu kabur karena derasnya hujan yang turun. Beberapa kali aku melihatnua terpleset saat berjalan ke arahku. Makin dekat aku tahu, laki-laki bersepatu futsal yang menembus hujan itu kamu. Kugenggam erat kunci yang ada di kantong jeansku. Di wajahku yang basah kuciptakan senyum untuk menyambutmu. Lain kali mungkin aku boleh berharap lebih banyak kepadamu.

Kuningan-Bintaro, 23-10-12

Sebelas Denah

Langit membentang biru ketika aku duduk di depan Musem Fatahillah pagi itu. Di tanganku terbuka sebuah moleskine peninggalan ayahku. Sebotol orange juice, sebuah kamera, dan novel Super Sad True Love Story tergeletak di sampingku. Aku sudah tahu isi moleskine itu, tapi aku tetap membuka dan melihatnya dengan penuh perhatian. Tidak banyak tulisan di sana, hanya sketsa dan denah dari sebelas lokasi favorit yang pernah dikunjungi ayahku. Dari sepuluh tempat yang ada di sana, Kota Tua yang terdekat dan bisa dijangkau olehku.

Bukan tanpa alasan, atau sekedar ingin mengenang saja yang membuatku datang ke tempat ini. Aku mencuri pembicaraanmu dengan kekasihmu hari lalu, jika kamu punya rencananya mengunjungi tempat ini. Ah, bukan kamu tapi kekasihmu, yang ingin kalian berfoto bersama. Setelah aku mendapatkan kesempatan mencuri dengar, kini aku akan mencuri kesempatan menyimpan sosok-sosokmu dalam jepretan kameraku.

Sepagian ini aku menunggu, membaca catatan ayahku tentang tempat-tempat favoritnya. Aku berharap tidak membacanya sendiri, membahasnya dengan seseorang mungkin akan lebih menyenangkan. Kemudian merencanakan perjalanan napak tilas ke tempat-tempat tersebut, mengulang apa yang ayah rasakan ketika berada di sana. Ayahku yang seorang arsitek mengidolakan Louis Kahn dan di lembaran moleskine ini beliau menggambarkan denah Salk Institute dari sudut pandangnya sendiri. Aku menyukainya, aku adalah penggemar terbesar karya-karya ayahku.

Dan aku ingin membagi kisah-kisah tentang karya-karya ayahku denganmu.

Kuangkat pandanganku dari buku sketsa. Kamu yang kutunggu akhirnya datang. Di tengah keramaian pagi Kota Tua, tidak sulit menemukanmu. Seolah di dalam otakku sudah terpasang radar yang langsung menujukkan keberadaanmu. Atau mungkin memang karena kamu bercahaya, seperti lentera yang jadi namamu.

Aku mengambil kameraku dan mulai membidik ke arahmu yang sedang bermain sepeda bersama kekasihmu. Aku bertanya-tanya, apakah kekasihmu tahu malam itu aku sudah menciummu? Apa kekasihmu tahu jika kamu telah dengan sengaja memberiku nomor ponselmu? Kurasa dia tidak mengetahuinya, wajah kekasihmu terlalu bahagia saat ini.

Seharusnya dia tahu, dia berhak tahu apa yang kamu lakukan. Aku mengambil ponsel dari saku jeansku. Membuka daftar panggilan terakhir dan menemukan namamu di sana. Bukan kamu yang meneleponku, aku yang menghubungiku lebih dulu hari Rabu lalu, ketika aku butuh teman untuk menyebar abu ayahku di sekitar rumah. Kamu menerima teleponku, meski tidak terkesan terlalu senang. Kalau kali ini, bagaimana kamu menanggapinya?

Lalu aku bersamaan dengan aku mendekatkan ponselku ke telingaku, aku melihatmu mengangkat ponselmu. Meski agak terlihat ragu, kamu mengangkat telepon dariku, menjauh dari kekasihmu sebentar. Sekarang, kamu milikku, kan?

“Hei, aku melihatmu,” kataku tanpa basa-basi.

“Apa? Di mana?” sahutmu penasaran.

Kuperhatikan kamu yang celingak-celinguk ke sekelilingmu. Butuh beberapa detik sampai akhirnya pandanganmu teracung kepadaku. Aku melambaikan tangan kepadamu, yang kamu balas dengan senyuman. Akan tetapi, momen itu dirusak oleh kekasihmu yang datang menghampirimu. Betapa surga tiga puluh detikku, dihancurkan begitu saja oleh kemunculan dia-yang-paling-tidak-kuinginkan.

Namun entah bagaimana caranya kamu bisa datang kepadaku dan duduk di sebelahku. Aku benar-benar terkejut saat kamu tiba-tiba menempati posisi yang tadinya dirajai oleh botol orange juice-ku, moleskine ayah, dan novel Super Sad True Love Story. Jantungku berdetak cepat, wajahku serasa memanas. Masih reaksi sama seperti yang selalu timbul saat kamu berada di dekatku. Sementara aku pura-pura sibuk dengan kameraku, kamu mengambil moleskine itu dan membukanya.

“Kamu arsitek?” tanyanya.

“Itu milik ayahku.”

“Ini Kota Tua,” ujarnya ketika melihat sebuah denah yang diamatinya baik-baik. “Inikah alasanmu datang ke sini?”

“Ya.” Sejak awal aku tahu, moleskine itu memang bisa menjadi alasan, jika kamu benar-benar menanyakan pertanyaan tersebut. Nyatanya, aku sungguh mendapatkan pertanyaan itu darimu.

“Ayahmu mengunjungi tempat-tempat lainnya?” tanyamu lagi. “Salk Institute, Guggenheim, Notre Dame, Louvre. Ayahmu menggambarkannya dengan detail. Begitu apik….”

“Iya, beliau memang jago menggambar.”

“Ini… kamu sudah pernah mengunjungi tempat ini?”

“Hmm….” Kualihkan tatapanku ke lembar yang dibuka olehmu.

Keningku berkerut, aku belum pernah melihat denah yang itu. Aku memang baru menyimpan buku tersebut beberapa hari, hanya tahu isinya adalah hasil sketsa dan denah yang dibuat ayah. Namun aku sama sekali tidak menemukan denah tersebut sebelumnya.

“Bagaimana kamu menemukannya?” Aku balik bertanya sambil mengambil buku itu dari tangannya.

“Ada di tengah-tengah. Terselip di antara halaman-halaman yang kosong.”

Denah itu dilabeli Bogor. Dengan catatan-catatan keterangan bagian-bagian bangunan serta ukurannya. Perlu beberapa detik untuk menyadari bahwa itu adalah sebuah rumah. Saat aku membalik halaman selanjutnya, aku menatap sebuah sketsa rumah yang digoreskan ayahku. Di bawah sketsa itu ada sebuah tulisan: ‘untuk Dhanissa’.

Ada sebelas denah di moleskine, tempat ayah mendokumentasikan tempat-tempat favoritnya. Selain kota tua, ternyata ada satu lokasi lagi yang seharusnya kukunjungi. Aku menatapmu tidak percaya, mengapa harus kamu yang menemukannya? Namun itu tidak penting, sekarang aku masih punya waktu kalau harus menuju Kota Bogor.

“Aku akan pergi ke sana sekarang,” kataku seraya memasukkan barang-barangku dalam tas.

“Sendiri?”

“Memangnya kau lihat aku pergi bersama siapa lagi?”

“Oke. Hati-hati, Dhanissa.”

“Terima kasih, Lex. Aku tidak akan bisa menemukan denah kesebelas itu tanpamu.”

Aku sudah beranjak darimu ketika mendengarmu bicara kepadaku. “Hubungi aku jika ada apa-apa.”

Aku menoleh kepadamu dan terbelalak. Kamu hanya melambai lalu berbalik menuju kekasihmu kembali. Aku berjalan mundur memandangi punggungmu yang makin menjauh. Seandainya saja aku berani untuk mengajakmu menemaniku hari ini. Maukah kamu menemaniku?

Bogor, 22-10-12

Hujan Abu di Hari Rabu

Yang paling menyedihkan adalah jatuh cinta sendirian. Yang paling menyakitkan adalah patah hati sendirian. Yang paling mengenaskan adalah kita mengalami semua itu sendiri, tanpa seorang pun tahu.

Aku duduk termangu di kursi goyang di teras belakang rumahku. Di pangkuanku terletak sebuah guci marmer warna putih. Di atas meja yang terletak di sampingku ada sebelas orange juice dan novel Super Sad True Love Story yang belum sempat kuselesaikan. Pandanganku menerawang ke halaman belakang yang basah disiram hujan. Sekarang hujan sudah berhenti, tak ada lagi suara yang memaksa mengisi pendengaranku. Rumah ini sepenuhnya sunyi, yang paling sunyi selama dua puluh empat tahun aku tinggal di sini.

Seminggu yang lalu begitu ramai di rumah ini. Kini sunyi senyap, semua orang sudah pergi. Bahkan satu-satunya yang kukenal sebagai keluargaku sudah meninggalkanku. Di pangkuanku, dalam guci marmer itu terdapat abu ayahku. Sudah seminggu, seharusnya di hari Rabu ini aku menaburkan abu ayah di sekitar rumah, sesuai dengan permintaannya.

Aku tidak pernah tahu ternyata seberat ini melepaskan satu-satunya hal yang tersisa dari sosok yang paling kusayangi. Aku punya foto, video, berbagai kenangan yang tersimpan di otak, namun semua itu tidak bisa mengembalikan kehadiran nyata seseorang.

Maka aku memberanikan diri menghubungi nomor ponsel yang waktu itu kamu berikan kepadaku. Aku mendengar suaramu yang berat di ujung sana, tapi lidahku kelu. Setelah beberapa kali kamu menanyakan siapa aku barulah aku bisa menjawabnya.

“Aku Dhanissa.”

“Oh hei, bisa kau telepon aku lagi nanti?”

Aku menggeleng. “Please, Lex. Aku cuma butuh kamu sebentar saja.”

“Ada apa?” tanyamu terburu-buru.

“Teruslah berbicara, Lex. Cerita apa saja kepadaku…,” kataku sambil berjalan turun dari kursi goyang. Aku melangkah menuju tangga ke lantai atas.

“Apa maksudmu?” sahutmu.

“Hmm… coba ceritakan harimu kepadaku…,” kutapaki tangga ke atas pelan-pelan.

“Apa kau baik-baik saja, Dhanisa?”

Sekarang aku berdiri di beranda lantai dua yang menghadap ke halaman belakang. Udara segar sehabis hujan memasuki paru-paruku. Ayah sering menggambar di sini dan aku duduk di sebelahnya membaca buku. Kami berbagi hari-hari setelah ibu meninggalkan kami. Duka dan kepedihan yang diganjar dengan usaha saling mengenal satu sama lain. Sampai akhirnya, kami tak perlu bicara untuk saling mengerti.

“Ayo, cerita sajalah….”

Hujan rintik-rintik turun lagi. Peganganku di guci itu mengerat, rasanya tak ingin aku melepaskannya.

“Aku tak punya cerita.”

“Apa kamu sedang bersama kekasihmu sekarang?” Aku membuka tutup guci tersebut.

“Ya,” jawabmu singkat.

“Apa kalian berencana menikah?”

Sesaat kamu terdiam. “Hmm… ya, ah aku belum memikirkan itu.”

“Kamu tidak yakin kepadanya.”

“Aku menyayanginya,” kamu menjawab dengan suara ketus.

Aku menyebarkan abu dari dalam guci marmer itu ke udara. Butiran abu tersebut langsung jatuh bersama butir-butir hujan. Jari-jariku rasanya gemetar saat melakukan itu. Aku menahan perasaan Aku terus melakukannya sampai abu di dalam sana habis.

“Maaf, jika aku menganggo soremu. Aku hanya tidak ingin patah hati sendirian.”

Begitu saja sambungan telepon itu berakhir. Begitu saja ayah kembali pulang ke rumah ini, tempatnya selalu tinggal.

Bogor, 21-10-12

Lentera Jagat Saputra

Sejak aku dengan lancang mencuri momen kembang api Juli darimu, aku menghindari sering-sering datang ke kafe tersebut. Malam itu, tepat tengah malam ketika kembang api sudah habis luruh bersama gelapnya langit, aku segera beranjak dari tempatku duduk. Bahkan kamu belum sempat menanyakan namanya. Aku tidak bersikap sok Cinderella, tapi nyata-nyatanya pergi terburu-buru membuat novel Super Sad True Love Story yang kubawa tertinggal di meja tempat kita berbagi.

Maka, aku mengalihkan waktu-waktuku biasa duduk di pojok kafe itu dengan mengunjungi toko buku langgananku. Di sini, aku memilih satu sudut di mana terletak kursi-kursi yang memang disediakan untuk membaca. Kali ini ketika aku datang, mataku langsung tertuju kepada standing banner yang memberitahu jika akan diadakan talkshow dengan seorang penulis. Sejenak aku berhenti dan membacanya, bukunya berjudul ‘Kupu-Kupu Semesta’ dan penulisnya bernama Lentera Jagat Saputra. Sambil melangkah masuk ke dalam toko buku, aku mengingat-ingat apakah aku pernah membaca karya dari penulis tersebut sebelumnya.

Aku melangkah di antara deretan rak buku sambil menggumamkan lagu Ghost of You milik My Chemical Romance. Tiba-tiba di tengah-tengah tatapanku tertuju kepada seseorang yang kukenal, kamu. Dari puluhan atau mungkin ratusan kali kunjunganku ke sini, sama sekali aku tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu denganmu. Memang aku baru tahu jika kamu ternyata suka membaca ketika malam kembang api lalu, tapi tidak pernah terpikirkan kalau kamu juga datang ke tempat ini.

Dengan manuver halus aku segera berpindah ke gang yang lain, agar kamu tidak melihatku. Bukannya aku tidak mau bertemu lagi denganmu, tapi aku merasa belum siap setelah kejadian itu. Aku terus menerus mengira-ngira apa yang kamu pikirkan kepadaku. Apakah kamu menganggapku murahan karena mau saja mencium bibirmu malam itu? Akan tetapi kamu membalas ciumanku, ya, ya, laki-laki mana yang mau melewatkan kesempatan seperti itu? Seharusnya kalau kamu memang setia kepada kekasihmu, kamu tidak akan melakukannya, membalas ciuman itu. Di antara deru napas yang kita pertukarkan dan tubuh yang terhubung, kamu mengantarkan harapan lewat sana. Sesuatu yang tadinya asing untukku, sekarang mulai tumbuh—aku berharap.

Aksi mengendap-endapku terhenti  saat seseorang memanggilku—bukan namaku, hanya ‘hei’ pendek—dan aku menoleh. Aku menoleh karena itu refleks otomatisku ketika mendengar seseorang yang kurasa kukenal menyapaku. Dia yang memanggil, aku tidak mengenalnya, aku hanya tahu dia—dia itu kamu. Aku langsung memalingkan wajah lagi dan menunduk di balik rak buku. Dari kerlingan mataku aku melihat kamu yang bergerak ke arahku.

Aku pun dengan cepat bergerak, berlari ke gang lain sambil terus menundukkan tubuh agar kamu tidak melihatku. Sempat aku menabrak beberapa orang, namun aku tidak peduli. Aku berhenti ketika aku menjatuhkan setumpuk buku, karena membuatku berhenti dan memunguti buku-buku itu terlebih dahulu. Beberapa buku sudah ada di pelukanku ketika ada seseorang membantuku. Ya ampun, aku lupa kalau aku sedang menghindarimu. Sekarang, kamu ikut berjongkok di depanku dan mengambili sebagian buku-buku yang terserak.

“Terima kasih,” kataku cepat tanpa menatap matamu.

“Dhanissa.”

Baru saja kamu menyebut namaku. Di sini, aku terhenyak, dengan jantung berdegup cepat dan wajah yang tiba-tiba menghangat.

“Aku harus pergi,” ujarku buru-buru. Aku mengatakan itu karena itu satu-satunya kalimat yang terlintas di kepalaku.

“Tunggu dulu.”

Kamu meraih tanganku—satu pencegahan baik agar aku tidak lari. Aku sendiri tidak berusaha melepaskan diri ketika mendengarmu bicara—bukan denganku. Seolah genggaman tanganmu ini menyedot habis semua energiku. Sensasi yang sama ketika kita berciuman waktu itu terulang kembali ke tubuhku. Aku seolah bisa mendengar kelepak kupu-kupu di perutku, tapi yang kurasa seolah ada naga yang baru menggeliat bangun di dalam sana. Semua karenamu.

“Dhanissa, aku ingin mengembalikan bukumu.”

Genggamanmu terlepas, sebagai gantinya tanganmu menjulurkan Super Sad True Love Story milikku.

“Aku membawa ini di dalam tasku sejak malam itu, agar aku bisa mengembalikannya kepadamu saat kita bertemu. Sayangnya, sepertinya kamu nggak pernah datang ke kafe itu lagi. Beberapa hari lalu aku datang ke sini dan melihatmu, kupikir sekarang kamu sering datang ke sini. Aku sudah menyangka kita bisa bertemu lagi di sini.”

Dadaku berdesir. Beberapa hari lalu, bagaimana aku bisa tidak tahu kalau dia datang ke tempat yang sama? Aku meraih novel itu cepat-cepat dari tanganmu. Lalu segera berbalik meninggalkanmu tanpa sepatah kata. Ketika aku melangkah di deretan rak, aku memeriksa novelku tersebut. Khawatir jika kamu merusak, melipat, atau melakukan apa pun kepada novel yang belum sempat kuselesaikan. Aku melihat namaku tertulis di pojok atas halaman pertama novel tersebut. Ketika aku membuka halaman lainnya, selembar kertas jatuh dari sana.

Aku terdiam dan berhenti berjalan. Ada suara ramai dari sudut toko buku. Ternyata talk show-nya sudah akan dimulai, seorang MC wanita memanggil si penulis, Lentera Jagat Saputra. Aku tidak terlalu peduli, aku lebih penasaran dengan kertas yang melayang jatuh tadi. Kupandangi tulisan yang tertera di kertas itu hingga aku tegak berdiri lagi. Lalu aku terpaku kepada sosokmu, Lex yang kutahu, atau Lentera Jagat Saputra—ya, aku menyunggingkan senyum kepadamu. Aku tidak tahu apakah kamu melihatku, tapi aku benar-benar berterima kasih untuk sederet nomor telepon yang kamu sisipkan di novelku itu.

Bogor, 20-10-12

Kembang Api Juli

Setiap bulan Juli, ada suatu hari saat kafe ini bukan hingga tengah malam. Hari itu ketika diadakan perayaan kemerdekaan yang disertai pesta kembang api meriah menjelang tengah malam. Kafe ini terletak di tepi teluk, lantai keduanya memberikan akses langsung ke arah jembatan—di mana kembang-kembang api diluncurkan. Aku, sebagai pelanggan tetap kafe ini, tahu benar pojok di mana aku bisa mendapatkan pemandangan terbaik melihat kembang api.

Orange juice mendinginkan tanganku sementara aku mendaki tangga ke atas. Alunan piano Ravel memainkan Pavane terdengar di seluruh ruangan, memberikan kesan romantis. Di bagian bawa kafe suasananya lebih ramai, sementara di atas sini dengan penerangan yang remang membuat kursi-kurisnya diisi oleh pasangan-pasangan. Aku harap pojok favoritku belum diisi siapapun, karena saat aku tiba di atas, hampir semua kursi penuh. Padahal ini hari kemerdekaan, bukan hari Valentine, tapi tetap saja pasangan-pasangan yang dimabuk cinta tidak akan repot-repot memikirkan hari apa ini, yang penting mereka bisa bertemu.

Sejenak aku terdiam di depan pojokan yang biasa kuisi setiap malam perayaan kemerdekaan. Kursi itu terisi olehmu yang biasanya datang bersama kekasihmu. Namun malam ini kamu sendirian, hanya ada secangkir kopi di atas meja dan buku Fahrenheit 451 dari Ray Bradbury. Bagian sofamu yang masih bisa didudukinya pastilah untuk kekasihmu, maka mungkin aku bisa meminta kursi di seberangmu untuk kududuki. Setidaknya ketika kamu dan kekasihmu mulai bermesraan, aku bisa memutar kursi dan menghadapkannya langsung ke teluk.

Dan aku mendekat perlahan kepadamu.

“Hei,” sapaku.

Senyum ragu-ragu tertera di wajahmu. “Hei,” balasmu pendek. Matamu mengamatiku dengan pandangan tidak enak.

“Apakah kursi ini sudah ada yang menempati?” tanyaku sambil menunjukku kursi di seberangmu, “kalau belum boleh aku mendudukinya?”

“Kamu yang tempo hari ketiduran sampai bukunya jatuh ya? Kamu boleh duduk di situ. Kursi itu kosong.”
(lebih…)

Menunggu Lampu Hijau

Hari 1

jam gadang
jam gadang

Mataku mengerjap-kerjap setelah kegelapan singkat yang kualami. Kunaungi mataku dengan telapak tangan dari sinar matahari pagi. Aku menarik napas dalam-dalam untuk meredakan kencangnya degupan jantungku. Tak ada goncangan sesaat yang lalu, tapi aku bisa merasakan tubuhku gemetar dan bulir-bulir keringat dingin tumbuh di punggungku.

Ketika pandanganku mendaki bangunan di sekelilingku, aku nyaris jatuh karena terkejut. Kini aku berada di bawah Jam Gadang yang terkenal dari Bukittinggi itu. Kakiku menyeret tubuhku menjauh dari bangunan itu. Aku menatap jamnya yang sekarang menunjuk ke angka IX, sembilan. Aku menelan ludah bersamaan dengan perasaan takut yang menelusup ke aliran darahku.

Padahal langit begitu biru pagi ini. Bahkan aku bisa melihat puncak Marapi. Aku langsung menghentikan pikiranku yang tiba-tiba dibanjiri oleh informasi tentang Gunung Marapi. Bagaimana aku bisa mengetahui semua itu? Meskipun aku tahu tempat ini, belum pernah sebelumnya aku menginjakkan kaki di sini.

Langkahku terhenti saat punggungku menabrak sosok lain. Wajahku mengerenyit sewaktu aku menoleh kepada sosok itu. Dia yang balas menatapku dengan sepasang mata kosongnya.

I think I know him. (lebih…)

Sah!

“Sah!”

Suara lantang saksi itu masih terngiang di telingaku hingga kini. Aku mengerjap-kerjapkan mataku, sedikit risih dengan kamarku yang didekorasi sedemikian rupa. Wangi mawar masih tercium semerbak. Aku mengusap wajahku—takut-takut ketika aku mengangkat tanganku dari atas mataku ternyata semua ini hanya mimpi.

Beberapa jam lalu, kamu mengucapkan ijab kabul. Lalu pagi ini aku sudah berstatus sebagai seorang istri. Akan tetapi, aku tetap merasa aku yang kemarin. Tak ada yang berubah—mungkin belum. Oh, tidak, ada yang jelas berubah—sekarang ada kamu di sisiku.

Dengkur halusmu masih terdengar—boro-boro semalam kita menikmati malam pertama. Prosesi pernikahan yang panjang membuat kita terlanjur capek. Malahan sekarang, guling yang ada di pelukanku dan kamu. Ergh, kamu memang susah sekali romantis!

Aku menarik guling di antara jalinan tanganmu, menyingkirkannya ke belakangku.

Matamu terbuka perlahan, “Kamu udah bangun? Mana guling aku?” katamu setengah sadar.

Aku melotot, “Ngapain nyariin guling? Sekarang kamu punya istri!” semprotku.

“Hmm….” Kamu menggeser tubuhmu masih dengan mata terpejam, merangkulku dan menumpangkan kakimu di atas kakimu, “Ya, aku punya istri sekarang…. Selamat pagi, istriku….”

Suara serak khas bangun tidur milikmu itu yang menyapaku barusan membuat dadaku berdesir. Aku benar-benar sudah menjadi istri seseorang sekarang—istrimu. Kini, kamu adalah Tuan Arsitek dan aku adalah Nyonya Pengarang—atau lebih mungkin bisa juga kalau aku dipanggil Nyonya Arsitek (karena aku istri seorang arsitek). Aku tersenyum sambil menatap langit-langit kamarku dan mengelus-elus punggung tanganmu.

“Mereka bilang dramanya akan terjadi seusai pesta…,” ucapku saat teringat banyak cerita dan nasehat pernikahan dari mereka yang sudah menjalani lebih dulu.

“Hmm….”

“Hmm…,” sahutku dengan ekspresi yang sama.

“Berhentilah berdrama sejenak—jangan pikirin kerjaan, kamu punya suami sekarang.”

Senyumku sedikit menyusut—terlalu banyak takut, tidak akan membuat semua lebih baik. Sekarang seharusnya jauh lebih mudah, kita yang dulu sendiri-sendiri—kini akan menghadapi dunia ini bersama. Aku menarik napas panjang. Semua akan baik-baik saja selama kamu ada di sampingku.

“Aku sayang kamu….”

“Hmm… aku juga,” balasmu seraya mengecup pipiku. “Sangat mencintaimu, istriku…,” bisikmu sembari memberikan ciuman lain di sekitar leherku. “Dan… kurasa kamu benar, dramanya memang dimulai seusai pesta,” bilangmu sambil menarik tubuhku mendekat dan menciumku lebih banyak lagi.

Bogor, 26 Januari 2012