Langit membentang biru ketika aku duduk di depan Musem Fatahillah pagi itu. Di tanganku terbuka sebuah moleskine peninggalan ayahku. Sebotol orange juice, sebuah kamera, dan novel Super Sad True Love Story tergeletak di sampingku. Aku sudah tahu isi moleskine itu, tapi aku tetap membuka dan melihatnya dengan penuh perhatian. Tidak banyak tulisan di sana, hanya sketsa dan denah dari sebelas lokasi favorit yang pernah dikunjungi ayahku. Dari sepuluh tempat yang ada di sana, Kota Tua yang terdekat dan bisa dijangkau olehku.
Bukan tanpa alasan, atau sekedar ingin mengenang saja yang membuatku datang ke tempat ini. Aku mencuri pembicaraanmu dengan kekasihmu hari lalu, jika kamu punya rencananya mengunjungi tempat ini. Ah, bukan kamu tapi kekasihmu, yang ingin kalian berfoto bersama. Setelah aku mendapatkan kesempatan mencuri dengar, kini aku akan mencuri kesempatan menyimpan sosok-sosokmu dalam jepretan kameraku.
Sepagian ini aku menunggu, membaca catatan ayahku tentang tempat-tempat favoritnya. Aku berharap tidak membacanya sendiri, membahasnya dengan seseorang mungkin akan lebih menyenangkan. Kemudian merencanakan perjalanan napak tilas ke tempat-tempat tersebut, mengulang apa yang ayah rasakan ketika berada di sana. Ayahku yang seorang arsitek mengidolakan Louis Kahn dan di lembaran moleskine ini beliau menggambarkan denah Salk Institute dari sudut pandangnya sendiri. Aku menyukainya, aku adalah penggemar terbesar karya-karya ayahku.
Dan aku ingin membagi kisah-kisah tentang karya-karya ayahku denganmu.
Kuangkat pandanganku dari buku sketsa. Kamu yang kutunggu akhirnya datang. Di tengah keramaian pagi Kota Tua, tidak sulit menemukanmu. Seolah di dalam otakku sudah terpasang radar yang langsung menujukkan keberadaanmu. Atau mungkin memang karena kamu bercahaya, seperti lentera yang jadi namamu.
Aku mengambil kameraku dan mulai membidik ke arahmu yang sedang bermain sepeda bersama kekasihmu. Aku bertanya-tanya, apakah kekasihmu tahu malam itu aku sudah menciummu? Apa kekasihmu tahu jika kamu telah dengan sengaja memberiku nomor ponselmu? Kurasa dia tidak mengetahuinya, wajah kekasihmu terlalu bahagia saat ini.
Seharusnya dia tahu, dia berhak tahu apa yang kamu lakukan. Aku mengambil ponsel dari saku jeansku. Membuka daftar panggilan terakhir dan menemukan namamu di sana. Bukan kamu yang meneleponku, aku yang menghubungiku lebih dulu hari Rabu lalu, ketika aku butuh teman untuk menyebar abu ayahku di sekitar rumah. Kamu menerima teleponku, meski tidak terkesan terlalu senang. Kalau kali ini, bagaimana kamu menanggapinya?
Lalu aku bersamaan dengan aku mendekatkan ponselku ke telingaku, aku melihatmu mengangkat ponselmu. Meski agak terlihat ragu, kamu mengangkat telepon dariku, menjauh dari kekasihmu sebentar. Sekarang, kamu milikku, kan?
“Hei, aku melihatmu,” kataku tanpa basa-basi.
“Apa? Di mana?” sahutmu penasaran.
Kuperhatikan kamu yang celingak-celinguk ke sekelilingmu. Butuh beberapa detik sampai akhirnya pandanganmu teracung kepadaku. Aku melambaikan tangan kepadamu, yang kamu balas dengan senyuman. Akan tetapi, momen itu dirusak oleh kekasihmu yang datang menghampirimu. Betapa surga tiga puluh detikku, dihancurkan begitu saja oleh kemunculan dia-yang-paling-tidak-kuinginkan.
Namun entah bagaimana caranya kamu bisa datang kepadaku dan duduk di sebelahku. Aku benar-benar terkejut saat kamu tiba-tiba menempati posisi yang tadinya dirajai oleh botol orange juice-ku, moleskine ayah, dan novel Super Sad True Love Story. Jantungku berdetak cepat, wajahku serasa memanas. Masih reaksi sama seperti yang selalu timbul saat kamu berada di dekatku. Sementara aku pura-pura sibuk dengan kameraku, kamu mengambil moleskine itu dan membukanya.
“Kamu arsitek?” tanyanya.
“Itu milik ayahku.”
“Ini Kota Tua,” ujarnya ketika melihat sebuah denah yang diamatinya baik-baik. “Inikah alasanmu datang ke sini?”
“Ya.” Sejak awal aku tahu, moleskine itu memang bisa menjadi alasan, jika kamu benar-benar menanyakan pertanyaan tersebut. Nyatanya, aku sungguh mendapatkan pertanyaan itu darimu.
“Ayahmu mengunjungi tempat-tempat lainnya?” tanyamu lagi. “Salk Institute, Guggenheim, Notre Dame, Louvre. Ayahmu menggambarkannya dengan detail. Begitu apik….”
“Iya, beliau memang jago menggambar.”
“Ini… kamu sudah pernah mengunjungi tempat ini?”
“Hmm….” Kualihkan tatapanku ke lembar yang dibuka olehmu.
Keningku berkerut, aku belum pernah melihat denah yang itu. Aku memang baru menyimpan buku tersebut beberapa hari, hanya tahu isinya adalah hasil sketsa dan denah yang dibuat ayah. Namun aku sama sekali tidak menemukan denah tersebut sebelumnya.
“Bagaimana kamu menemukannya?” Aku balik bertanya sambil mengambil buku itu dari tangannya.
“Ada di tengah-tengah. Terselip di antara halaman-halaman yang kosong.”
Denah itu dilabeli Bogor. Dengan catatan-catatan keterangan bagian-bagian bangunan serta ukurannya. Perlu beberapa detik untuk menyadari bahwa itu adalah sebuah rumah. Saat aku membalik halaman selanjutnya, aku menatap sebuah sketsa rumah yang digoreskan ayahku. Di bawah sketsa itu ada sebuah tulisan: ‘untuk Dhanissa’.
Ada sebelas denah di moleskine, tempat ayah mendokumentasikan tempat-tempat favoritnya. Selain kota tua, ternyata ada satu lokasi lagi yang seharusnya kukunjungi. Aku menatapmu tidak percaya, mengapa harus kamu yang menemukannya? Namun itu tidak penting, sekarang aku masih punya waktu kalau harus menuju Kota Bogor.
“Aku akan pergi ke sana sekarang,” kataku seraya memasukkan barang-barangku dalam tas.
“Sendiri?”
“Memangnya kau lihat aku pergi bersama siapa lagi?”
“Oke. Hati-hati, Dhanissa.”
“Terima kasih, Lex. Aku tidak akan bisa menemukan denah kesebelas itu tanpamu.”
Aku sudah beranjak darimu ketika mendengarmu bicara kepadaku. “Hubungi aku jika ada apa-apa.”
Aku menoleh kepadamu dan terbelalak. Kamu hanya melambai lalu berbalik menuju kekasihmu kembali. Aku berjalan mundur memandangi punggungmu yang makin menjauh. Seandainya saja aku berani untuk mengajakmu menemaniku hari ini. Maukah kamu menemaniku?
Bogor, 22-10-12