Kamu Manis, Kataku

Aku meraih tangannya, mencium punggungnya. Kemudian kubalikkan tangan itu dan kuelus telapak tangannya. Gemetar tubuhnya merambat padaku, namun aku malah menggenggam tangan itu lebih erat. Permukaan kulitnya diselimuti dingin yang kuabaikan. Percik-percik warna merah mengotori kulitnya yang seputih pualam. Titik-titik yang kemudian disatukan oleh aliran pelan cairan gelap dari pergelangan tangannya.

Kuhentikan laju darah itu dengan sapuan lidahku. Pelan-pelan kusesap hingga menyebar di seluruh rongga mulutku. Selanjutnya kukecup luka sayat itu—darahnya begitu hangat. Aku menyukai sensasi yang kurasakan saat darah itu mencapai lidahku.

“Kamu manis,” kataku.

Pandanganku mengarah pada perempuan dengan rambut berwarna brunette itu. Dia sama bisunya sejak tadi, kini dia membalas tatapanku. Lalu kusentuhkan bibirku pada miliknya yang berwarna merah jambu. Kubiarkan darahnya mengotori lembut bibir itu, biar dia merasakannya.

*

Aku mencintainya sejak itu. Semenjak ia menggunakan pisau itu untuk memberikan jalan keluar bagi darahnya sendiri. Sayangnya waktu itu aku keburu menemukannya dan menjaganya agar terus hidup sampai hari ini. Aku pun tidak lagi mengizinkannya melukai diri dengan pisau dapur itu, tidak lagi. Bahkan kini dia sudah lebih mahir untuk mengiris kulitnya sendiri dan memintaku untuk menyesap darah yang berkerumun keluar.

“Aku menyukaimu melakukan itu, Jack. Aku menyukai caramu mengatakan ‘manis’ padaku. Bilang padaku lagi,” ujarnya manja sambil bersandar di dadaku. Jasmine meraih scalpel di tanganku yang hendak kugunakan untuk memanen organ korban yang tak sadarkan diri di depanku sekarang. Aku hanya diam dan memandangnya menyentuhkan ujung scalpel itu ke kulit di sekitar pergelangan tangannya.

“Boleh aku melakukannya di tempat lain?”

Kuanggukkan kepalaku.

Jasmine tersenyum dan menjauhkan scalpel itu dari pergelangan tangannya. Di dekatkannya scalpel itu ke lehernya. Senyumnya tak pudar saat dia mulai mengiris kulit lehernya sendiri perlahan dengan scalpel itu. Scalpel itu belum juga beranjak dari lehernya saat darah mulai merembes dari sayatan itu.

Aku meraih tangan Jasmine dan mengambil kembali scalpelku. “Cukup.”

Jasmine mencium bibirku sekilas. “Aku mencintaimu, Jack.”

Kubalas ciuman itu dengan menyapukan lidahku di atas lukanya. Kukecup dan kuhisap luka itu hingga kurasakan darah meluberi lidahku. Jasmine melenguh pelan sambil memelukku erat-erat. Suara lembutnya itu berpadu dengan napasnya yang menderu-deru di telingaku.

Kuangkat bibirku dari luka itu, lalu berbisik di telinganya, “Kamu manis. Aku mencintaimu. Selalu mencintaimu.”

Bogor diguyur hujan. Pagi, 14 Januari 2012

Priceless

Ditulis untuk #11projects11days. Lyric: Baby Says by The Kills.


mary

Tidak semua kemenangan bisa dinilai dengan uang. Banyak di antaranya yang begitu priceless.

Moncong pistol mengarah ke arahku dan Jack. Namun aku tidak peduli karena bibir Jack di bibirku lebih menyenangkan untuk dinikmati dari pada memperhatikan perempuan berpistol itu. Kurangkulkan tanganku di sekitar pinggang Jack, lalu membalas ciuman Jack lebih dari tadi. Aku yakin sebentar lagi, perempuan itu akan segera menarik pelatuknya. Mari hitung, 1… 2… 3….

*

Baby says she’s dying to meet you
Take you off and make your blood hum
And tremble like the fairground lights

*

“Wow, Mary, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” ucap Jack ketika pintu hitam itu mengayun terbuka.
(lebih…)

The Epilogue

Epilogue of Precious Present

 

“…memutuskan bahwa Jacques William diharuskan menjalani hukuman seumur hidup.”

Aku tak bisa melupakan suara hakim saat membacakan putusan atasku 21 tahun lalu itu. Gemuruh tepuk tangan mendukung keputusan hakim serta caci maki karena kecewa hakim tidak menghukum mati diriku masih jelas terdengar di telingaku. Bahkan aku masih bisa mengingat secara nyata ruang tempatku menjalani persidangan—furnitur dari kayu mahoni berpelitur, sibakan jubah hakim, sampai wajah-wajah para pemburu berita.

Aku adalah monster.

Lalu, monster tersebut sejak 21 tahun lalu terkurung di sini. Di balik deretan jeruji besi berdiameter dua setengah senti, dan tembok kumuh yang membuat ruang dua kali dua meter ini jadi rumahku selama itu. Udara lembap merasuk dalam pernapasanku, hanya seberkas sinar matahari yang bahkan bisa mencuri masuk dan menyentuh lantai selku. Aku duduk di tepi ranjangku dengan tangan menopang dagu. Blokku terlalu sunyi sepagi ini—ya, aku memang tak menyukai keramaian—tapi, kali ini terlalu sepi.

Kesunyian ini selalu berhasil membuatku merasakan kembali api-api dendam yang masih menyala. Dendam masa lalu yang belum usai dibalaskan. Aku tidak tahu jelas bagaimana kabar Mary sekarang—perempuan itu seolah lenyap ditelan angin. Bahkan dari beberapa penghuni penjara yang sudah kukenal sebelumnya pun, aku tak mendapatkan informasi apa-apa. Hanya sedikit kabar burung yang terdengar bahwa perempuan itu pensiun dan meninggal. Gosip paling tidak masuk akal yang kudengar adalah perempuan itu mempunyai seorang anak. Aku lebih memilih perempuan itu mati—setidaknya ada seseorang yang menghapus eksistensinya, walaupun bukan aku.

Perempuan itu sudah mengambil semua milikku. Menghancurkan segalanya.

Dendam ini masih terpelihara baik sekali dalam hatiku.
(lebih…)

Precious Present Pt.9 — The Final Part (1)

Note :

Bagian terakhir dari Precious Present. Terimakasih banyak kepada betareaderku, Ratih Desiana. Untuk semua pembaca setia yang aku tahu: Rina Shu, Panji, Iif, Jenny, Wandha, Eci, Lea, Tammy, Nyit, Taffy, dan banyak lainnya yang baca tapi gak aku tahu. Terimakasih banyak sudah mengapresiasi cerita ini. Maaf, jika ada kekurangan selama ini… karena memang cerita ini gak sempurna. Rencananya, aku akan jadikan cerita ini ebook dengan editing di sana-sini. Mungkin… akan ada sekuel dari cerita ini, tapi aku gak bisa janji bisa kasih kapan. 🙂

Selamat menikmati akhir kisah Jack, Jasmine, Mary, dan Tommy. Buka hatimu untuk semua yang terjadi.


Warning : gore, blood, & violence.


Precious Present Pt.9 

Final Part (1)

Having Fun series : Jack & Jasmine

Aku menolehkan kepalaku ke ambang pintu. Ayah berdiri di sana dengan revolver teracung padaku dan ibu. Dalam pelukan ibu aku meringkuk penuh ketakutan. Kepada Ibu ayah bicara dengan suara orang teler, dia ingin membunuhku. Aku mulai menangis, pelukan ibu mengerat di sekitar tubuhku. Sosok ayah makin mendekat, aku kian menggigil panik. Caci maki kepada ibu terdengar begitu menyakitkan dari mulut ayah. Namun ibu tetap bertahan di situ, tak bergerak meski ia sama gemetarnya denganku. Selanjutnya, kudengar raungan revolver, ibu berbisik bahwa ia begitu menyayangiku, rengkuhan ibu mengendur dan darah mulai membanjiriku. Pada saat itu, aku tahu pria itu—ayahku—harus mati di tanganku.

Enam bulan kemudian, di hari ulang tahunku ke delapan, aku mendapatkan hadiah terindah. Ternyata membunuh ayah cukup mudah, cukup beberapa tembakan ke tubuhnya dan dia tak lagi bergerak—tak bisa lagi menyiksaku.

Deja vu.

Detik ini, sosok Mary di ambang pintu mengingatkanku akan hal itu. Kedua tangan perempuan itu mengacungkan revolver padaku dan Tommy. Terdengar bunyi puing yang terinjak oleh sepatu boot Mary. Sosok itu berjalan menembus sisa asap yang masih mengepul, mendekati aku dan Tommy. Pelan-pelan aku mengubah direksi arah ujung revolver-ku dari Tommy menuju perempuan itu.
(lebih…)

Precious Present Pt.9 — The Final Part (2)

Precious Present Pt.9

The Final Part (2)

Kini giliranku.

Aku mencium bibir miliknya, tanpa rasa. Penuh nafsu kulumat bibir itu. Kuhimpit tubuhnya ke tembok di belakang kami. Terengah-engah dia mengimbangi permainan lidahku. Dalam beberapa menit kemudian, permainan kami berdua semakin cepat dan panas. Kubiarkan tangannya menjelajahi tubuhku, memberikan sentuhan-sentuhan yang membuatku menggerakkan lidahku makin cepat. Kusapukan lidahku di atas lehernya sembari memberikan gigitan kecil di sana yang membuatnya mengerang. Tanganku menyisip di antara helai rambut hitamnya. Bibir itu melenguh lagi, ingin rasanya aku merobek bibir yang mengeluarkan suara yang kubenci itu. Kukembalikan bibirku di atas bibirnya agar tak perlu ia mengeluarkan suara lagi. Kurasakan tangan Mary merayap di bagian depan jeans-ku. Saat itu, ketika pandangan kami saling mengunci tanpa bibir kami terlepas. Mata itu… mata yang ingin kucongkel dari rongganya.

Wajah Jasmine terpantul di sana. Aku mulai membayangkan bagaimana perempuan ini sudah menyakiti Jasmine. Perempuan ini pantas mendapatkan balasannya. Aku akan membunuhnya… sekarang.
(lebih…)

Precious Present Pt.8

Warning: contains blood, gore, and violence.


Precious Present Pt.8

(Having Fun series: Jack & Jasmine)

Jack selalu mengajariku untuk berani dan mempertahankan apa yang aku anggap benar meskipun harus bertaruh nyawa. Memang itu kedengaran gila, tapi Jack selalu menunjukkan hal itu padaku. Kecermatan dan ketelitiannya merencanakan sesuatu membuatnya selalu menang—sampai hari ini ketika aku membujuk Jack untuk membunuh Kay.

Awalnya Jack menolak mentah-mentah rencanaku. Namun aku terus memohon dan berjanji akan mempersembahkan jantung Kay sebagai hadiah untuk Jack. Jack melepasku dengan berat hati dan berpesan untuk menjaga diriku.

Aku harus menjaga diriku untuk Jack.
(lebih…)

Precious Present Pt.7

Warning : contains gore, blood, and violence scenes.


Precious Present Pt.7

(Having Fun series: Jack & Jasmine)

 

“Jika aku mati nanti… aku ingin meninggal di pelukanmu, Jack.”

 

Tak kutemukan keberadaan Jack di sisiku. Bahkan aku bisa merasakan itu sebelum aku benar-benar membuka mataku. Seluruh citra ruangan itu langsung tergambar di mataku—bukan kamar dengan nuansa pastel hangat tempatku dan Jack biasa bangun di pagi hari—terutama langit-langit gelap di atasku. Aku mengasup udara sebanyak mungkin dalam paru-paruku. Satu hal yang kuingat adalah tadi aku sempat berbicara dengan Jack, tapi sesungguhnya aku tidak yakin itu nyata atau hanya mimpi. Namun aku menyadari ada revolver terselip di bawah punggungku, berarti pembicaraanku dan Jack tadi nyata.

Jack pergi, sekarang aku menyesal mengapa harus tinggal di sini. Ada perasaan tak nyaman kurasakan di dalam dadaku. Aku tahu, Jack cukup percaya pada Mary karena Jack rela meninggalkanku sendiri tanpa penjagaan Tommy di sini. Hanya saja, aku belum pernah benar-benar mengenal Mary. Dari cerita-cerita yang kudengar dari Tommy, aku tak bisa menutup mata jika dulu pernah ada hubungan khusus antara Mary dan Jack. Tommy menolak bercerita lebih lanjut, jadi aku hanya menebak-tebak, hubungan apa yang ada selain partner membunuh. Ketika kutanyakan pada Jack, ia mengaku tak pernah punya perasaan khusus pada Mary, hubungan mereka sebatas partner membunuh dan seks. Hal yang kedua yang diakui Jack itu benar-benar tak kusukai dan tak bisa kuterima, meskipun itu sudah jadi masa lalu. Sekarang Jack hanya mencintaiku dan dia pun bilang takkan melakukan hubungan badan dengan perempuan lain kecuali aku.

Kuselipkan revolver itu di bagian belakang garis pinggang jeans-ku sebelum aku benar-benar bangkit dari sofa. Telapak tanganku masih terasa nyeri, tapi aku cukup yakin lukanya tak lagi berdarah sebanyak tadi. Tanganku terangkat, kulihat balutan kasa dan bisa kurasakan jahitan di baliknya. Aku tersenyum kecil, Jack selalu bisa mengerjakan segala sesuatu dengan rapi, tidak sepertiku yang cenderung ceroboh dan asal-asalan. Aku rindu pada Jack… ingin dia di sini sekarang dan aku bisa bergelung dalam pelukannya. Mendengarkan detak jantung di balik dada bidangnya. Mengisi paru-paruku dengan udara bercampur aroma tubuhnya yang selalu membuatku rindu.
(lebih…)