Alien

alien

“Aku bimbang mau menulis apa lagi!” serumu pada dinding kamarmu yang dipenuhi dengan poster-poster yang berkaitan dengan luar angkasa.

Tak ada yang menanggapi kata-katamu, namun mulutmu sudah komat-kamit lagi mengucapkan serentetan hal. Wajahmu mengarah lurus ke arah figur alien yang diciptakan manusia yang tertempel paling besar di tengah dinding kamarmu. Lalu kamu beralih ke poster galaksi Alpha Centauri yang terletak tepat di sampingnya.

“Masa lagu ini dipasangkan dengan tema alien. Alien mellow? Ha?” Ekspresimu dibuat seolah-olah terkejut dan jijik dalam waktu bersamaan. “Yang ada tuh, alien itu… angst! Ya, ceritanya harus angst, penuh action! Penuh kemarahan, pertempuran, senjata, begitu! Alien itu… hebat!”

Kamu menopangkan dagumu di atas meja, matamu melayang pada halaman MS Word yang masih putih tanpa sepatah kata.

“Ya, sih… alien juga bisa jatuh cinta kayak di District 9. Eh, tapi dulunya si Wikus itu kan manusia bukan alien. Cuma nasibnya memang gak baik… dia jadi alien. Ya, alien juga punya perasaan sih, aku inget kok alien sedih di cerita Super 8.” Kamu terdiam sejenak, mengetuk-ketukkan jarimu ke atas meja. “Alien bisa kangen kampung halamannya juga ya.”

Terdengar hembusan napas panjangmu beberapa kali.

“Jadi, alien punya perasaan ya?”

Kamar itu sepi.

“Berarti mereka bisa jatuh cinta dong….”

Hanya sunyi yang ada setelah kamu bicara.

“Mereka bisa rindu juga dong….”

Kali ini kamu terdiam lebih lama, pandanganmu teralih ke luar jendela kamar. Gelap menyelimuti angkasa di atas sana, titik-titik bintang dan sinar rembulan pun absen. Bibirmu mengerucut seakan-akan kesedihan mendadak menerpa wajahmu.

“Bisa bimbang juga… ya?”

Matamu terpejam, hatimu berbisik ‘ingin pulang, ingin bertemu lagi denganmu’. Saat kamu membuka mata, kamu bisa melihat salah satu artikel tua yang tertempel di dindingmu.

Tragedi Roswell, 1947.

*

64 tahun. Wajarkah jika kamu sudah mulai melupakan satu persatu detail hidupmu yang dulu? Terlalu lama berpura-pura menjadi manusia, huh?

*

Bogor, 20 Oktober 2011

Ditulis untuk #11projects11days. Lagu tema: Bimbang – Melly.

Sayap Api

eternity flame fire wings pictures, backgrounds and images

Dari api kembali ke api.

Lidah api ini membungkusku, melahapku penuh nikmat. Dari balik dinding api kulihat kedua mata Rosaline dalam-dalam. Bening yang selalu kucinta, sejuk yang membuatku jatuh cinta terlalu dalam dan terbakar.

*

Hampir tengah malam ketika itu, angin dingin mencubiti kulit terbuka Rosaline. Ia melangkahkan kaki cepat, menembus titik-titik salju yang memenuhi udara dan jalanan di bawahnya. Puncak-puncak pinus bergoyang menyeramkan akibat sorotan temaram lampu jalan. Di antara bayangan itu, ada yang tak mengerucut seperti puncak pinus. Sesuatu yang berbeda dan membuat Rosaline tak bisa lagi menggerakkan kakinya.

Keping-keping putih salju bahkan kalah dengan silau putih lembut dari pemilik bayangan itu. Rosaline bernapas cepat, uap mengepul dari mulutnya yang ternganga melihat sosok di depannya. Ada selimut tak terlihat yang seolah menyelimuti sosok itu hingga salju tak mau mampir ke tubuhnya yang tak tertutupi sehelai benang pun.

Akan tetapi bukan semua itu yang membuat Rosaline serasa melumpuh untuk kala itu—sepasang  sayap di tubuh pemuda itu.

Sayap putih bersih yang membuat salju di sekelilingnya tak lagi terlihat cemerlang. (lebih…)

Cemburu

imac

Praaaakkkk!

Ayunan keras pemukul bisbol itu mendarat di tubuhku tanpa sempat aku menghindar. Tubuhku remuk redam, pastinya ada bagian-bagian yang patah. Sekarang aku tak bisa lagi berkelit, duh, bagaimana mau melarikan diri—bergerak saja aku sudah tak bisa.

Sesaat ruangan itu menyepi, perempuan berambut cokelat di depanku itu melirik ke kanan dan ke kiri. Tampaknya dia sedang mewaspadai sesuatu, takut-takut ketahuan atas apa yang dia lakukan padaku barusan.

Bitch! Kucoba berteriak keras-keras padanya. Pantas saja jika kekasihmu lebih memilih aku dari pada perempuan tidak punya attitude seperti dia.Kemudian dia memandang lurus kepadaku, hidungnya kembang kempis seolah-olah dia mendengar umpatanku buatnya tadi.

Lantas dia berlalu sejenak dariku, kulihat dengan perasaan ngilu dan ketakutan ketika dia menyeret korban lain. Korban itu—partner kerjaku selama ini—dibanting dengan kasar ke lantai. Lalu, perempuan itu mengulang apa yang tadi dia lakukan pertama padaku.

Perempuan gila!
(lebih…)

The Kill

Ditulis untuk #11projects11days. Ditulis dengan iringan lagu The Kill by 30STM dan Papercut by Linkin Park. Sebuah sekuel-teaser dari The Apple.


Leonard mencoba menggerakkan tubuhnya dengan susah payah. Amarah mengalir deras dalam diri Leonard karena apa yang terlihatnya di depannya kini.  Meski pandangannya mulai mengabur karena darah dan keringat, tapi ia masih bisa mengenali gerakan tangan Marcuss. Seluruh tubuhnya gemetar karena luka akibat duelnya dengan Marcuss, kali ini ia mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk mengibaskan pedangnya.  Sekali lagi ia memaksakan tubuhnya bangkit, pedang di tangannya dijadikan tumpuan. Hingga akhirnya ia berhasil berdiri dan mengayunkan pedang itu ke arah Marcuss. Leonard tak akan membiarkan Marcuss melakukan hal itu.

Namun pedang lain berhasil bergerak maju sebelum sempat ujung pedang Leonard menyentuh tubuh Marcuss.

What if I wanted to fight
Beg for the rest of my life
What would you do?

Leonard berlari tanpa menyadari bahwa rumput yang dipijaknya perlahan berganti dengan aspal keabuan. Ia masih bisa mendengar desing panah yang ditujukan padanya dan satu di antaranya kini melenting karena menumbuk aspal. Pohon-pohon menjulang tinggi di hutan Oihanean sekarang berganti dengan warna-warni mobil yang melintasi highway.

Oh shit!

Pekikan Leonard itu muncul ketika sebuah mobil hampir menabraknya, sampai akhirnya mobil itu mengalihkan arahnya ke kiri dan membuat mobil di belakangnya menabrak mobil lain.

Oh, shit.” Leonard benar-benar tak bisa menahan diri untuk mengumpat. Peduli setan dengan tata krama seorang raja. Sekarang dia berada di LA, bukan Lurrarean. Leonard tidak menghentikan lajunya, meskipun ia tahu kelihatannya masalah yang ia ciptakan itu cukup besar. Jeritan klakson dan umpatan dari beberapa mobil yang berusaha menghindari Leonard terdengar begitu jelas. Sejelas dia tahu di belakangnya ada beberapa orang yang sedang mengejarnya. Mereka marah—tentu saja, tabrakan beruntun di highway ini adalah akibat ulahnya.

Leonard berhenti berlari ketik hembusan angin kencang menerpa tengkuknya disertai dengan bayangan dari bentangan sayap yang melintasinya. Oh shit! Siapa lagi yang membuka portal sebesar itu sampai bisa mentransfer naga dari Lurrarean ke LA?!
(lebih…)

K-9

Ditulis untuk tema 5. ‘Menari oleh Maliq and d’essentials’. Bagian dari kisah Ken di The Book & Outrun.


Year 2309, Day 7

Shuttlecab itu bergerak dengan kecepatan sedang menuju Magnolia Island yang terletak hanya 4 km dari International Research Institute of Science (IRIS) headquarters. Hanya tiga penumpang di dalamnya, aku, Jet, dan Ken. Angin laut menghambur masuk ke dalam kabin karena Ken membuka salah satu jendelanya untuk merokok. Mataku menatap melewati kaca yang melingkupi shuttlecab ini, kerlap-kerlip lampu upper sea lab menerangi pekatnya laut di malam ini. Namun, ketika memandang ke lantai shuttlecab ini, tak kalah ramainya—under sea lab membuat lautan di dalam sana sama meriahnya.

Ini perjalanan keduaku menuju Magnolia Island—terimakasih pada Jet yang sering menyelundupkan aku ke luar tanpa sepengetahuan Ken. Jet sering mengeluh diberikan pekerjaan terlalu keras oleh Ken—Chief of Biology. Aku kasihan pada Jet, jadi beberapa kali aku menawari bantuan untuk meringankan kerjanya. Aku memang belum lama lahir, tapi keenceran otak Ken rupanya menurun padaku. Maka dari itu, Jet bisa percaya padaku untuk membantunya mengerjakan pekerjaan di laboratorium 7—bioweapon laboratory.

Ya, ya, sayangnya bukan hanya kecerdasan Ken yang menurun padaku, sampai perasaan pun jatuh kepada orang yang sama. Aku selalu mengintip-intip ketika Madonna datang ke lab 6 yang terletak satu lantai dengan lab 7. Dokter muda cantik itu memang kemarin melakukan penelitian tentang love potion di bawah bimbingan Ken.

Lalu, aku akan merasakan rambatan panas di dadaku ketika Ken masuk ke dalam lab itu. Kemudian pintu lab itu tertutup sampai mereka berdua keluar lagi di sore, ah, malam atau tengah malam.

Seluruh IRIS mereka adalah pasangan—best couple, begitu penghargaan yang diberikan IRIS annual party tahun lalu.

Cih.
(lebih…)

Priceless

Ditulis untuk #11projects11days. Lyric: Baby Says by The Kills.


mary

Tidak semua kemenangan bisa dinilai dengan uang. Banyak di antaranya yang begitu priceless.

Moncong pistol mengarah ke arahku dan Jack. Namun aku tidak peduli karena bibir Jack di bibirku lebih menyenangkan untuk dinikmati dari pada memperhatikan perempuan berpistol itu. Kurangkulkan tanganku di sekitar pinggang Jack, lalu membalas ciuman Jack lebih dari tadi. Aku yakin sebentar lagi, perempuan itu akan segera menarik pelatuknya. Mari hitung, 1… 2… 3….

*

Baby says she’s dying to meet you
Take you off and make your blood hum
And tremble like the fairground lights

*

“Wow, Mary, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” ucap Jack ketika pintu hitam itu mengayun terbuka.
(lebih…)

Terpana

Tahu-tahu kamu ada di depanku.

Tahu-tahu saja kamu mengambil ruang yang sudah kuambil di sesi foto bersama ini. Biasanya aku akan memaki, tapi kali itu… mataku bergerak menyusuri punggungmu hingga ke kakimu. Mulutku serasa terkunci seolah semua pesonamu menyerap kemampuan indera bicaraku.

Aku menarik napas panjang, mengingat bagaimana kamu yang celingak-celinguk mencari posisi yang pas untuk bergabung dalam foto bersama. Tidak lama, hingga akhirnya kamu melangkah maju dan berhenti di depanku. Gila.

Akan tetapi untuk marah dan mengomel pun aku tak sanggup. Ugh. Yang ada, detik itu aku hanya berdiri tersipu, sama merah jambunya dengan blus yang kugunakan hari itu.

Jelas terhampar di kepalaku, bagaimana barusan kamu tersenyum padaku sebelum berdiri di depanku. Itukah rahasiamu? Bagian dari dirimu yang membuatku langsung terpana dan… jatuh lebih dalam.

Bila dalam kondisi waras tentu aku akan mendorongmu dan membuatmu menjauh dariku karena mengambil ruangku untuk bersama. Kali ini bahkan aku tidak ingin mengganggumu yang sudah siap berpose di depanku. Sekedar menepuk bahumu saja aku tak sanggup. Aku ingin lebih dari itu—memelukmu kalau perlu. Tapi, jelas itu tidak mungkin.

Karena berkenalan saja belum kita lakukan.

Kugeser sedikit tubuhku, sehingga aku seolah berdiri di sampingmu. Aku melirik lenganmu yang kokoh, berlanjut ke tanganmu yang kau sisipkan di saku jeans-mu. Duh, kalau aku punya keberanian lebih pasti aku akan menariknya dan menggandengkannya dengan milikku.

Atau mungkin aku bisa memperbaiki posisiku dengan sedikit maju. Biar, tubuh kita saling bersentuhan begitu—kelihatannya lebih romantis. Akan tetapi, aku tidak bisa membayangkan reaksimu bila aku melakukannya. Padahal, segalanya itu mungkin terjadi, tinggal kita mau memilih melakukannya atau tidak. Di antara desak-desakan foto bersama ini—kamu memilih berdiri di depanku saja sudah tak terduga. Ya, di tengah kerumunan foto bersama ini seharusnya aku bisa mengambil kesempatan dalam keterdesakan ini!

Seharusnya begitu.

Namun, Mario sudah memasang kameranya di depan kerumunan foto bersama itu.

Sekarang atau tidak sama sekali.
Dengan kamera terpasang di wajah, Mario memberikan isyarat untuk kami agar merapat dan melihat ke kamera.

Sekarang atau tidak sama sekali.

Okay, 1… 2… 3… say cheese!” seru Mario.

Cheese!!!!!” Semua berteriak kompak. Dan aku meraih satu tanganmu untuk kugenggam.

Biar kugenggam tanganmu lebih dulu, kita masih bisa berkenalan sehabis ini kan?

holding hands Pictures, Images and Photos

Pasir Mukti, 12 Oktober 2011