Memilihmu

Memilihmu

Pilihan itu akan selalu datang. Antara yang kaupedulikan dan yang kaucintai. Antara yang peduli kepadamu dan yang mencintaimu. Pada akhirnya, hati yang akan memberi jawabannya. Memilihkannya untukmu.

Kamu bisa mengunduh versi pdf dari novella “Memilihmu” di sini.

Beberapa hari sudah berlalu dari selesainya event #13HariNgeblogFF. Di event tersebut aku sempat menulis cerita bersambung selama tiga belas hari pelaksanaannya. Nah, karena gatel kalau cuma jadi post di blog dengan cerita yang ngegantung-gantung, maka aku jadikan satu cerita utuh–sebuah novella. Nggak banyak yang berubah dari edisi revisi Nara-Medina-Richard yang akhirnya kuberi judul ‘Memilihmu’. Hanya saja, di edisi revisi dan udah disatukan ini, kamu bisa lebih mengenal latar belakang Nararya dan tentunya Richard.

Yah, novella ini sekadar pemanasan sebelum “Mendekap Rasa” rilis di toko-toko buku pertengahan Februari nanti.

Antologi “Singgah” sudah bisa didapatkan di toko-toko buku terdekat ataupun online sekarang. Kontributor lain selain gue, ada Yuska Vonita, Bernard Batubara, Anggun Prameswari, Jia Effendie, dll. Singgah bercerita tentang kisah-kisah pendek di tempat-tempat persinggahan, yaitu terminal, bandara, stasiun, dan pelabuhan. Yakinku sih hampir setiap orang punya kenangan di salah satu tempat tersebut. Jadi, pas banget untuk dibaca siapa aja dan apalagi kalau lagi dalam perjalanan. 😀

Untuk novel-novelku yang lain, Biru pada Januari masih bisa didapatkan di toko-toko buku terdekat. Sementara judul lainnya kayaknya udah sulit ketemu di toko buku, bisa dicari lewat toko buku online.

Setelah “Mendekap Rasa” dan “Biru pada Januari” yang genrenya dewasa, nanti pertengahan tahun akan bakal kembali dengan novel remajaku. Untuk bocoran ceritanya sedikit-sedikit bisa ditemukan di tumblr “Catatan Tia”, cari tag #30HariMenulisNovel. Soalnya, udah post beberapa minggu lalu sih, jadi agak ketumpuk dengan post-post baru.

Salam manis,

Adit

Cut!

Baca cerita sebelumnya di sini.

Seluruh episode Medina-Nararya-Richard ada di sini.

 

—-

Nararya di depanku, menjadi penghalang antara aku dan Richard.

“Dia milikku.”

Pada saat ini, aku berharap tiba-tiba ada suara yang menyerukan ‘cut!’. Kemudian dari balik pepohonan di belakang kami muncul sang sutradara dan kru yang bertepuk tangan karena adegan puncak yang telah selesai diambil. Richard, aku, dan Nararya akan saling tertawa satu sama lain–bahwa yang kami lakukan hanyalah akting semata. Peter Jackson, sutradara trilogi The Lord of The Rings dan The Hobbit, mungkin bisa melakukannya, menjadikan klimaks ini begitu tragis.

Bisa-bisanya aku berpikir seperti itu sekarang.

Aku menarik napas panjang, membiarkan paru-paruku terisi udara beraroma garam. Angin masih terus berembus, sesekali kencang lalu melembut dan seterusnya seperti itu. Aku tidak berharap momen ini abadi–kali ini aku ingin waktu bergulir lebih cepat. Bahkan meski aku hanya punya waktu sedikit lagi, aku tetapi menginginkan momen ini cepat berakhir.

Kalau perlu, bahkan aku tidak usah harus mengambil keputusan apa-apa.

“Apa maksudmu?”

Suara bariton Richard terdengar menggelegar, mengalahkan deburan ombak di sekitar dermaga.

“Dia milikku,” ujar Nararya berusaha meraih tanganku. Responku yang terlambat membuat Nararya begitu mudah mendapatkannya. Aku menggeliatkan tangan, berusaha melepaskannya dari genggaman Nararya yang kian mengerat.

(lebih…)

Tunggu Di Situ, Aku Sedang Menujumu

6814545108_6761db9b89_b

Baca cerita sebelumnya di sini.

——

Banyak perempuan yang mungkin bermimpi dilamar di tempat seperti ini. Ujung dermaga dengan bentangan laut yang begitu jernih di bawahnya. Beratapkan langit biru berhias carik-carik awan. Kemudian, seorang pria yang berlutut di hadapan dengan sebuah cincin berkilau dan bermata biru.

Di antara banyak perempuan itu, aku tidak termasuk di dalamnya. Aku tidak pernah memimpikan hal itu–yang sekarang terjadi kepadaku.

Aku menatap Richard yang tersenyum kepadaku. Tangannya masih menyodorkan cincin yang begitu indah–ia selalu tahu seleraku. Pria yang selalu rapi ini selalu mengerti apa yang kuinginkan, seakan dia bisa membaca pikiranku. Kini, aku mencoba menutup-nutupi pikiranku, ada Nararya membayangi di dalam sana dan aku tidak bisa mengusirnya.

Aku mengigit bibir. Kedua tanganku terkepal di sisi badan. Angin mengacaukan rambutku, membuatnya berkibar di depan wajahku.

Momen ini, ketika Richard memintaku untuk menjadi pendampingnya sekarang menghadirkan perasaan asing. Seakan Richard yang ada di depanku sekarang merupakan seseorang yang baru saja kukenal. Sementara, Nararya yang tadi kulihat ada di ujung lain dermaga adalah sosok yang sudah menetap selamanya di dalam hatiku.

Betapa mudahnya hati manusia terbolak-balik.

(lebih…)

Jangan Ke mana-mana, di Hatiku Saja

Baca cerita sebelumnya di sini.

——-

Ponselku berdering nyaring.

Aku hendak meraih ponsel tersebut di atas nakas, tapi sebuah tangan terjulur mencegah lenganku. Aku terkesiap, lupa kalau malam ini aku tidur bersama orang lain di sisiku. Nararya menurunkan tanganku perlahan. Aku merasakan ia bergerak di belakang punggungku, mendekat kepadaku.

Jantungku berdetak kencang saat tubuh Nararya bersentuhan dengan bagian belakang badanku. Tangannya kemudian melingkari pinggangku. Di antara sunyinya kamar itu, aku bisa mendengar desah napasnya yang berderu di atas bahuku.

“Jangan ke mana-mana,” ucapnya.

Aku mengigil mendengar suara Nararya. Ada terus berdesir dalam hatiku bahkan setelah beberapa saat dia mengucapkan itu.

“Aku sudah janji untuk mengungkapkan kepadamu tentang hal itu.”

Nararya mengenggam tanganku.

“Maafkan aku, Medina,” katanya lirih.

(lebih…)

Bangunkan Aku Pukul Tujuh

“Maafkan aku.”

Suaraku seakan tertahan di tenggorokan saat mengucapkan itu. Lawan bicaraku tak menjawab sampai beberapa saat. Aku bisa mendengar helaan napasnya beberapa kali. Keringat dingin muncul di telapak tanganku. Aku memainkan sprei di ranjang dengan gelisah–membuat pola-pola tak kasat mata dengan ujung jemariku.

“Aku khawatir padamu. Benar-benar khawatir kepadamu, Medina.”

Gantian aku yang membisu. Sekitar tenda itu begitu sepi. Selain desah napas lawan bicaraku, yang terdengar hanyalah suara serangga-serangga malam serta debur ombak yang tak kunjung habis. Baru kusadari kamar ini begitu luas ditempati sendiri. Ranjang ini seharusnya bukan untuk satu orang, tapi jelas disediakan untuk dua orang. Begitu pula semua hal lain dalam tenda itu–westafel yang berjumlah dua. Aku benar-benar merasa kesepian ketika melihat bersamaan ke arah dua cermin besar di atas westafel tadi.

“Maafkan aku. Aku tidak akan bersikap seperti itu lagi.”

“Seharusnya aku nggak membiarkanmu pergi sendirian.” Suara lawan bicaraku melunak. Aku menghela napas lega, kemudian berbaring di atas ranjang besar berkelambu itu.

“Di sini sepi sekali,” ujarku.

“Aku akan menemanimu, sampai kamu tidur.”

“Ceritakan aku sesuatu,” pintaku seraya menarik selimut hingga menutupi tubuhku.

“Hmm… sedang membaca The Timekeeper. Mau kubacakan?”

“Apa saja. Asal kamu tetap di situ.”

(lebih…)

Menanti Lamaran

Amanwana

Baca cerita sebelumnya di sini.

—–

Sepanjang malam, aku berada dalam rangkulan Nararya. Kami berdua duduk di luar tenda, menatap langit malam yang bersih. Taburan bintang yang begitu banyak adalah hal langka di Jakarta. Tidak banyak kata yang kami pertukarkan. Mataku terpaku kepada hamparan gelap di atas sana, bersama suara ombak yang tak pernah usai, aku merasa begitu nyaman. Di bawah selimut yang sengaja diambilkan Nararya dari dalam tenda, aku menutupi tubuhku. Nararya melepaskan rangkulannya sewaktu dia berdiri menjauh dariku tanpa kata-kata. Sosok Nararya membelakangiku, sinar rembulan menimpa tubuhnya hingga bayangannya tercetak di atas pasir.

Saat Nararya menengok ke arahku sejenak, aku melihat apa yang dilakukannya–merokok. Cerahnya cahaya bulan, membuatku bisa mengamati ekspresi di wajahnya setiap kali menoleh kepadaku, seakan-akan takut aku lari darinya. Aku memeluk diriku sendiri lebih erat. Kugerak-gerakkan kakiku di atas pasir yang dingin.

Ketika Nararya tidak berada di sampingku sekarang, keresahan akan melandaku. Menyusup pelan-pelan dalam diriku, seolah ingin mencekikku perlahan. Kegelisahan ini karena aku teringat Richard. Sudah sejak sore tadi aku meninggalkan ponselku di dalam tas yang ada di tenda. Ia pasti menelepon dan mengirimkan pesan singkat untukku. Aku mengigit bibir.

Namun, aku menginginkan Nararya sekarang.

Sebelum nanti, aku akan kembali kepada Richard.

(lebih…)

Untuk Kamu, Apa sih yang Nggak Boleh?

Baca cerita sebelumnya di sini: Cintaku Mentok di Kamu

“Karena aku mencintaimu,” bilang Nararya tanpa keraguan, “karena cintaku berhenti di kamu.”

Aku membeku di tempatku. Pandangan Nararya teracung lurus kepadaku, tak ada keraguan yang kutemukan dari sinar mata itu. Aku menelan ludah. Ada rasa bergejolak yang bermula dari solar plexus hingga merambat ke ujung-ujung jariku. Kukatupkan kedua tanganku di atas pangkuan. Waktu seakan terulur ketika itu, detik-detik berguling begitu lambat.

Angin yang tadi berembus riuh, kini juga melemah. Aku merasa dalam kehampaan, hanya sepasang mata Nararya yang bisa kulihat. Napasku terembus perlahan. Momen ini begitu murni, seolah memang diberikan untuk kami berdua.

“Itu yang pertama. Yang pertama ingin kusampaikan kepadamu.”

Suara Nararya memecah seluruh momen sunyi tadi. Tiupan angin kembali mengacak rambutku, menampar-nampar permukaan kulit yang terbuka. Aku masih belum bisa memikirkan apapun. Perkataannya masih terngiang di telingaku. Perutku masih terasa berombak. Senyum yang terangkai di wajahnya, melumerkan es yang sedari tadi bertengger di hatiku. Semua terasa aneh sekarang… aku sendiri terlalu terkejut untuk bisa menjelaskannya.

Aku pernah mengharapkannya datang sebagai pangeran. Hadir untuk menyelamatkanku. Sekarang dia ada dan mengungkapkan sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya.

“Aku tidak akan memaksamu untuk membalasnya, Medina. Kamu butuh waktu. Ke sini aku membawamu untuk memberimu waktu dan agar tidak lari ke manapun.”

“Aku tidak akan lari.”
(lebih…)