Menanti Lamaran

Amanwana

Baca cerita sebelumnya di sini.

—–

Sepanjang malam, aku berada dalam rangkulan Nararya. Kami berdua duduk di luar tenda, menatap langit malam yang bersih. Taburan bintang yang begitu banyak adalah hal langka di Jakarta. Tidak banyak kata yang kami pertukarkan. Mataku terpaku kepada hamparan gelap di atas sana, bersama suara ombak yang tak pernah usai, aku merasa begitu nyaman. Di bawah selimut yang sengaja diambilkan Nararya dari dalam tenda, aku menutupi tubuhku. Nararya melepaskan rangkulannya sewaktu dia berdiri menjauh dariku tanpa kata-kata. Sosok Nararya membelakangiku, sinar rembulan menimpa tubuhnya hingga bayangannya tercetak di atas pasir.

Saat Nararya menengok ke arahku sejenak, aku melihat apa yang dilakukannya–merokok. Cerahnya cahaya bulan, membuatku bisa mengamati ekspresi di wajahnya setiap kali menoleh kepadaku, seakan-akan takut aku lari darinya. Aku memeluk diriku sendiri lebih erat. Kugerak-gerakkan kakiku di atas pasir yang dingin.

Ketika Nararya tidak berada di sampingku sekarang, keresahan akan melandaku. Menyusup pelan-pelan dalam diriku, seolah ingin mencekikku perlahan. Kegelisahan ini karena aku teringat Richard. Sudah sejak sore tadi aku meninggalkan ponselku di dalam tas yang ada di tenda. Ia pasti menelepon dan mengirimkan pesan singkat untukku. Aku mengigit bibir.

Namun, aku menginginkan Nararya sekarang.

Sebelum nanti, aku akan kembali kepada Richard.

Aku segera berdiri dan menghampiri Nararya.

“Medina,” katanya. Asap mengepul dari mulutnya.

Aku tersenyum kepadanya.

“Kamu nggak kedinginan?” tanyaku melihatnya hanya berkaos dan bercelana pendek.

Nararya mengisap rokoknya lagi.

“Kita balik ke tenda aja yuk,” ujarnya membalikkan badan.

Aku masih berdiri memandangi kilauan cahaya bulan di atas ombak, ketika Nararya meraih tanganku.

“Kamu tuh bandel ya. Nggak bisa diomongin sekali aja,” bilang Nararya, seraya menarikku dengan lembut. Ada senyum tipis tersungging di bibirnya.

Kuikuti langkahnya tanpa sepatah kata. Perhatianku terpusat pada genggaman tangannya yang begitu hangat. Laksana kami sudah saling mengenggam satu sama lain selama ini. Lekuk tangan itu terasa begitu pas dan nyaman, tanpa ada rasa asing sama sekali.

Kami berdua terdiam ketika tiba di depan pintu tenda. Pandangan kami terarah satu sama lain. Tangannya masih mendekap jari jemariku.

“Apa kita pernah bersama sebelumnya?”

Pertanyaan itu meluncur tiba-tiba saja dari bibirnya. Aku terhenyak. Pikiran itu ternyata juga merajai Nararya.

“Kamu… terasa begitu familiar. Seperti kita pernah saling mengenal sebelumnya.”

Aku menelan ludah. Selimut yang melingkari tubuhku mendadak melorot hingga ke lantai. Saat itu juga aku langsung bisa merasakan betapa mengigitnya angin yang berembus di sekitar sini.

Bibir Nararya melengkung lebih lebar. Lalu ia menggelengkan kepala. “Tentu saja tidak. Kita belum pernah bertemu sebelumnya.”

Udara dingin yang bertiup membuat bulu romaku berdiri. Aku berharap Nararya tidak melepaskan pegangannya kepadaku. Kalau aku punya keberanian, rasanya aku ingin menghambur ke dekat tubuh Nararya, memeluknya seerat mungkin. Namun aku hanya berdiri terpaku–kami masih dalam posisi yang sama, jarak yang tidak berkurang sedikit pun.

Jarak itu menghilang sesaat kemudian, ketika bibir Nararya mendarat di pipiku. Kurasakan permukaan tangannya yang kasar di pipiku yang lain. Deru napasnya bergelung hangat di permukaan kulitku.

“Kamu kedinginan,” ucapnya di dekat pipiku.

Aku kian mengigil karena itu. Serta merta, Nararya merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku sama sekali tidak berontak. Aku malah ingin berada di sana selamanya, jika aku bisa. Nararya mengelus punggungku perlahan.

“Aku ingin tahu, apakah kamu akan menikah dengan Richard?”

Dekapan itu mengerat saat Nararya menanyakan hal itu. Aku menarik napas panjang. Kupejamkan kedua mataku. Richard selalu bilang ingin menikah denganku. Ia mencintaiku, sangat mencintaiku dan ingin mendampingiku selamanya.

“Medina.”

Panggilan Nararya menyentakku lagi.

“Dia belum memintaku…,” ujarku begitu pelan.

“Kalau setelah aku mengatakan hal kedua yang masih kusimpan esok hari. Apakah aku masih punya kesempatan itu? Kesempatan untuk memintamu menjadi milikku.”

Detik itu aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya mau diungkapkan oleh Nararya. Akan tetapi, kami sudah bersepakat untuk menundanya sampai besok.

“Katakan saja sekarang,” kataku tercekat.

“Aku ingin memilikimu, Medina. Aku ingin.”

Aku memejamkan mataku. Ada perasaan sesak dalam rongga dadaku. Beban rasa yang menggelayuti benakku. Hingga aku tidak tahu lagi harus bahagia atau berduka pada saat ini. Aku mengigit bibirku sendiri.

Pelukan itu tidaklah lama, Nararya pelan-pelan menjauhkan tubuhnya dariku.

“Selamat malam, Medina,” ujar Nararya sembari berjalan mundur, hendak meninggalkanku.

“Nara…,” panggilanku membuat langkah Nararya terhenti, “tidakkah kamu ingin masuk ke dalam?”

Sejenak Nararya terdiam mendengar ajakanku. Ia memberiku tatapan sepasang mata cokelatnya yang seperti perangkap–sekali pandangan mata itu terhunjam kepadamu, maka kamu tak akan bisa ke manapun.

“Aku berjanji untuk menjagamu untuk Richard. Tidur yang nyenyak, Medina,” katanya seraya tersenyum kepadaku.

Sosok itu berbalik. Melangkah pergi tanpa ragu dariku. Kini jelas sekali apa yang kurasa–kehilangan dan rindu jadi satu.

*bersambung

Bogor, 20-1-13

Satu pemikiran pada “Menanti Lamaran

Tinggalkan komentar