Berburu Pangeran

richard madden prince charming
Richard Madden sebagai Prince Charming di Cinderella 2015. Cakepnyaaaaaa.

Malam lalu, ketika berbaring dalam kegelapan, pikiran ini merasukiku. Selama empat bulan terakhir, aku mengerjakan cerita tentang keluarga kerajaan dan bangsawan. Lalu, beberapa waktu lalu, aku membaca cerita tentang pangeran gitu yang kabur dari kerajaannya karena menolak nggg dijodohkan. Mungkin itu berlanjut jadi cerita yang bagus, tapi jujur saja bikin aku mengernyitkan dahi. Karena, bagaimana seorang pangeran nggak bisa menghadapi masalah seperti itu? Apalagi, kalau perjodohan itu berkaitan dan beralasan politis/ekonomi, bisa saja si keluarga/kerajaan putri yang akan dijodohkan merasa dilecehkan harga dirinya. Dan apa… perang atau banyak implikasi yang kurang baik lainnya.

Bagi kamu yang suka sejarah atau nonton miniseri bersetting masa-masa kerajaan gitu, pasti tahu betapa dramanya menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Bersaing mendapatkan takhta. Kehidupan yang nggak sebebas merpati. Harus mau dijodohkan atas nama stabilitas politik dan perjanjian ekonomi. Dan bla bla bla lainnya.

Jadi, dari apa yang aku kumpulkan selama beberapa bulan terakhir, aku pengin sekali menulis tentang…, kalau kamu menulis kisah tentang cinta bersama pangeran–aku akan memberi tips. Sehingga ceritamu lebih berlapis, lebih terasa realistis (sesuaikan dengan periode). Tapi, sesuai judulnya, ini berburu pangeran, dan nggak bisa dibalik. (lebih…)

Arcadia & Hadrian: Yang lebih biru dibanding lautan

Cerita sebelumnya: Pertemukan aku dengan ombak (bagian 29/terakhir)

the master
citra dari adegan pembuka di film the master.

Apa yang lebih biru dibanding lautan?

Pertanyaan itu menghampiriku saat mencoba menghitung buih yang pecah. Aku mulai membilangnya saat berdiri di buritan kapal–semua hanya biru, putih, biru muda, laut, ombak, dan buih. Kubiarkan rambutku diterbangkan angin. Aku senang berada di sini. Tak ada penyesalan ketika aku memutuskan untuk berkunjung.

“Nona.” Seorang pria tersenyum sopan dan berdiri berjarak denganku. Dia tersenyum. “Rambut Anda sangat indah,” pujinya, menatapku hormat.

Aku mengembangkan senyum malu-malu. “Terima kasih.”

Dia terdiam sejenak, lalu pamit kepadaku. Pria itu menyeberangi buritan, menuju selasar di bagian kiri kapal. Saat itulah, aku mengingat lagi tujuanku ke sini. Sosok yang berdiri di tepi pagar teras itu menyita perhatianku. Sejak tadi dia berada di sana, dilewati orang-orang dan tak ada yang berhenti menyapanya. Kehadirannya mungkin tak terdeteksi, atau orang-orang memang tak punya alasan apa pun untuk menghampirinya.

Belum lama sejak pertemuan kami di toko buku. Aku datang lagi ke tempat itu tapi tak pernah menemukannya lagi. Aku yang belum pernah melintas menuju masa depan pun melakukannya, untuk tahu apakah benar yang dikatakannya bahwa kami akan bertemu lagi. Agak sulit untuk menemukannya sebab aku hanya tahu namanya saja. Aku mengunjungi banyak masa depan yang mungkin terjadi, seringkali kembali dengan tagan kosong dan di sinilah, akhirnya aku menemukannya. (lebih…)

Arcadia & Hadrian: Pertemukan aku dengan ombak

Cerita sebelumnya: terlalu banyak (bagian 28)


Divus hanya mematung ketika pedang yang digunakan perempuan berambut merah itu menusuk tubuh Hadrian. Tidak mengenai bagian vital, tapi bisa saja dia mati kehabisan darah. Divus mengelus kepala Biru, menenangkan kucing besar itu, jika ini bukan pertarungan mereka. Hadrian jatuh ke air, tubuhnya tenggelam, hanya kepalanya yang muncul di permukaan. Betapa pun sakitnya itu, sama sekali tidak membuat Hadrian bersuara. Perempuan itu menekan pedang itu, memuntirnya, hingga menembus tubuh lawannya.

Senja semakin merah. Permukaan di sekitar mereka berombak kecil. Kelompok-kelompok burung terbang dengan tergesa-gesa. Divus tetap berdiri di posisinya. Perempuan itu menarik pedangnya dan mengacungkannya ke udara. Darah mengaliri permukaannya yang berkilauan, menetes satu demi satu ke air danau yang beriak. Tawa perempuan itu meluncur ke udara. Matanya nyalang pada Hadrian yang masih berusaha berdiri.

“Aku akan membunuhmu pelan-pelan, Hadrian,” ujarnya, menghunjamkan sekali lagi pedang itu kepada Hadrian yang belum berdiri tegak.

Sebelum ujung lancip pedang itu menyentuh tubuh Hadrian, Divus bersama Smilodon dan Biru menghilang lewat sebuah pintu yang muncul di belakang mereka. Tak ada gunanya campur tangan pada masalah itu.

** (lebih…)

Arcadia & Hadrian: Terlalu Banyak

Cerita sebelumnya: Karunia (bagian 27)


Kendaraan yang ditumpangi Arcadia bergerak. Kepadatan jalanan seakan mendadak menyurut ketika mereka lewat, sehingga perjalanan begitu lancar. Di samping Arcadia, duduk Arianna yang sedang mengecek persiapan final. Setelah beberapa waktu akhirnya hari ini datang juga dalam hidup Arcadia dan Arianna.

Perjalanan itu akan jauh dan lama. Mereka masih harus menempuh perjalanan udara ke sebuah pulau terpencil tempat pembukaan gerbang akan dilakukan. Meski lokasinya terasing, tempat itu sama sekali tidak sepi. Berbagai bangunan didirikan, bermacam-macam peralatan yang akan dibawa lewat gerbang sudah siap, orang-orang hilir mudik. Selain yang berkepentingan, orang luar tak akan bisa menginjakkan kaki ke area ini.

Arcadia dan tim Arianna berhasil memformulasikan mantra yang sangat kuat untuk mencegah gerbang ke masa lalu runtuh. Mereka mulai bisa membawa alat-alat yang digunakan untuk mengeruk sumber daya Bumi. Memanennya, membawanya ke masa sekarang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang makin melangit. Ini proyek besar. Akan banyak uang yang dihasilkan. Banyak. (lebih…)

Arcadia & Hadrian: Karunia

Cerita sebelumnya: Janji (bagian 26)


Dingin menjalar dari kaki Hadrian hingga ke lututnya sesaat setelah melangkahi ambang pintu. Dia terhuyung, mengernyit memandangi tempatnya berada sekarang. Dari belakangnya, Biru melompat keluar dan sama kagetnya dengan Hadrian. Deburan keras dan reaksi terkejut Biru jadi satu. Kini sebagian pakaian Hadrian basah sepenuhnya.

Pintu lain ada di seberangnya, setengah terbuka. Dari sana muncul Divus, diikuti sosok berkerudung merah. Hadrian enggan membalas senyum Divus yang lebar. Divus melambaikan tangannya, bertatapan dengan Hadrian. “Aku benci bau lumpur,” katanya, kemudian tercium aroma manis karamel. “Ini lebih baik.”

Angin menurunkan penutup kepala yang digunakan sosok di belakang Divus. Ekspresi perempuan berambut merah itu tampak datar dan tenang.

“Tempat terbaik yang terpikirkan olehku untuk mempertemukan kalian,” ujar Divus, mengamati keduanya. “Indah kan? Senja, langit yang punya warna semestinya, ombak-ombak lembut. Aku menyukai tempat ini.”

“Kamu melakukan seperti ini kepada setiap aku yang ingin berhadapan dengan orang yang harus kubunuh?” tanya perempuan itu pada Divus. (lebih…)

Arcadia & Hadrian: Janji Q

Cerita sebelumnya: Penghuni mimpi buruk (bagian 25)


 

Quentin mengikuti langkah-langkah lebar Arcadia. Gadis itu mengerudungkan mantelnya hingga menutupi seluruh rambut dan sebagian wajahnya. Arah yang mereka lalui sudah Quentin akrabi. Dia merasa tahu ke mana mereka akan menuju tanpa perlu menanyakannya kepada Arcadia. Saat dia menyadari itu, waspadanya langsung meningkat. Lalu lalang pengguna jalan di sekitarnya sangat normal. Namun, Quentin tahu ada yang tidak biasa sedang terjadi. Barusan dia berpapasan dengan kolega yang berteman baik dengannya tapi orang itu melengos dan lewat begitu saja. Belum lagi, seorang perempuan yang bertengkar dengan anak kecil karena anak kecil itu mengakui bahwa perempuan itu adalah ibunya. Seakan-akan orang-orang itu melupakan sesuatu.

Yang paling mengusiknya, tentu kedatangan Divus.

Dan, dia sangat sadar jika dunia kian suram. Warna-warnanya luntur dan segala seakan tampak kelabu. (lebih…)

Arcadia & Hadrian: Penghuni Mimpi Buruk

Cerita sebelumnya: Dendam


 

Pada pagi itu, dari setiap pintu yang terbuka–kegelapan menerobos keluar. Membentuk bayang-bayang. Menyerap warna-warna yang ada di sekitar mereka. Perlahan memiliki bentuk yang tampak oleh mata setiap manusia. Anjing bercangkang siput. Sosok seperti manusia yang di wajah, lengan, paha, dan badannya muncul kepala anjing, burung yang bertubuh unta.

Mereka adalah penghuni mimpi buruk.

Banyak jeritan karena ketakutan. Kepanikan menyebar di seluruh kota.

Hadrian masih berdiri di dalam ruangannya, bersama jasad Thomas. Dia seharusnya memberi tahu Laura, istri Thomas tentang ini, tapi dia tidak sanggup melakukan itu. Seharusnya dia tidak perlu mengajak serta Thomas ke rumah Samantha. Diamnya terusik oleh kaca gedungnya yang bergetar. Biru menggeram pada makhluk di kaca itu–seekor ikan bersayap yang hendak menerobos masuk.

Dia janji menunggu Arcadia hingga gadis itu kembali ke sini. Namun, dia tidak tahan dengan situasi ini lama-lama. Dia harus menghentikan Divus. Bersamaan dengan keputusan itu, muncul sebuah pintu yang hitam terbakar di tengah-tengah ruangan. Dia tidak bisa menunggu lagi.

bersambung