Maya di Bulan Mei

Seperti Mei yang mendadak basah, Maya menyadari arah kisah ini. Dia selalu ada di setiap perjumpaan mereka. Pertemuan pertama yang sinis. Pertemuan kedua yang lebih aneh. Pertemuan kesekian yang mana lelaki itu terpaksa menerima bantuan perempuan itu mengantarkan ke gedung pertunjukkan. Hampir terlambat latihan. Hujan turun luar biasa deras. Di hari yang kelabu itu, Maya dirundung sendu dan cemburu.

Hari lainnya ketika perempuan itu mengorek tentang si pemain biola, Maya menjawab kalau lelaki itu sudah pergi jauh. Lelaki itu menerima beasiswa dari sekolah musik paling bergengsi sedunia. Perempuan itu percaya. Hampir tak pernah muncul lagi. Bosnya pasti marah kalau Maya dengan sengaja membuang pelanggan setia. Tapi Maya tidak peduli dan senang. Maya hanya mengarang saja. Lelaki itu masih selalu mampir seusai latihan dan memesan menu favoritnya: milk tea boba.

Dia berharap malam ini juga. Kedai tutup lebih larut di akhir pekan. Gedung pertunjukan menggelar konser. Gedung serbaguna selalu punya acara. Akan banyak yang melintas, lalu mampir. Maya bersiaga. Wajahnya berlapis riasan natural. Sejak tadi dia tersenyum lebih banyak. Kedai ini bahkan jadi bernuasa klasik, dari daftar putar rekomendasi lelaki itu.

Pintu kedai terbuka. Senyum Maya melebar. Detak jantungnya mengencang. Lelaki itu sungguh hadir. Tampil dengan setelan jas khas pemain orkestra. Dia menjinjing wadah biola. Dia bahkan menahan pintu untuk pengunjung lain. Tidak salah kalau Maya mengidamkannya. Maya mengucapkan selamat datang dengan latar lantunan simfoni Tchaikovsky.

Ketika pintu tertutup kembali, hangat raut Maya menghilang. Dia menelan ludah. Mungkin memang ini takdirnya: sebagai saksi mata. Perempuan itu datang lagi. Rambut ikalnya dikepang manis. Mengenakan gaun putih ringan selutut. Membawa buket peony. Mereka sangat serasi.

“Kalian dari konser?” tanya Maya tercekat.

“Dia. Kebetulan ketemu,” tunjuk perempuan itu menggunakan buketnya, “aku dari resepsi di gedung serbaguna. Dapat ini bukan karena dilempar. Si berengsek itu minta istrinya memberikan kepadaku.”

“Mungkin diam-diam dia mencintaimu, tapi gengsi untuk mengakui,” ujar lelaki itu.

“Mana mungkin,” perempuan itu menaruh buket dan dompet, mengeluarkan kacamata dan memakainya. “Dia cuma butuh seseorang yang selalu ada dan meninggikan egonya.”

Lelaki itu hanya mengangguk, membenahi kacamatanya sendiri. Maya takjub. Mereka berdua bahkan mengenakan model kacamata yang sama. “Seperti biasa ya, May. Dua. Banyakin bobanya. Biar Kakak ini nggak kelamaan nelangsa ditinggal kawin.”

“Siapa yang nelangsa?!” sahut perempuan itu. “Kalian tahu, aku pernah dengar sebuah mitos kalau setiap ada hati yang patah. Begitu juga satu bagian dari Bumi. Setiap rekahan, patahan, setiap lembah yang terbentuk, gunung yang muntab…. Malam ini semua damai.”

Maya selesai. Sempurna. Persis dengan gambar di promo. Lelehan gula di sisi dalam gelas. Butir-butir bola tapioka yang bertumpuk di dasar tenggelam di bawah putihnya susu dan lapisan teh yang membaur di atas. Indah sekali. “No sugar. Less ice.”

Mereka mengambil pesanan dan berlalu. Lengkap sudah semua dengan boba di tangan. Sejenak mereka berpandangan. Lelaki itu berbinar. Perempuan di sampingnya tersenyum lebar. Tinggalah Maya yang harus bersabar. Ngilu hatinya melebar. Dia sudah berupaya, tapi yang seharusnya terjadi akan terjadi. Seperti Mei yang mendadak jadi bulan basah. Seperti kasih yang bersemi di depan hatinya yang patah.

(493 kata)

Tinggalkan komentar